Mohon tunggu...
Galih setyo ardi
Galih setyo ardi Mohon Tunggu... Buruh - KARYAWAN

MENCOBA MENULIS

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ketahanan Pangan Tanggung Jawab Kita

18 Juni 2019   13:47 Diperbarui: 19 Juni 2019   21:52 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ketahanan Pangan Nasional" jargon tersebut mungkin sudah sering kita dengar, bahkan mungkin sudah dikumandangkan sejak awal kemerdekaan bangsa ini. Jargon tersebut akan semakin terdengar lantang biasanya jika menjelang pemilihan umum, para calon pemimpin biasanya sering memberi janji akan mewujudkan ketahanan pangan nasional. 

Meski jargon ini sudah terdengar sejak dulu namun tantangan untuk mewujudkan akan semakin berkembang seiring perubahan konsidi sosial, ekonomi & budaya yang ada di masyarakat. Ketahanan pangan pada masa awal kemerdekaan tentu akan berbeda dengan ketahanan pangan di era modern seperti sekarang. 

Pada awal kemerdekaan negara ini memang benar-benar kekurangan makanan untuk rakyatnya, rakyat kala itu masih sibuk berjuang untuk mempetahankan kemerdekaan. Sektor pertanian masih ditinggalkan, rakyat mau tidak mau harus makan apa adanya asal dapat mengisi perut mereka. Pada masa awal kemerdekaan beras bukanlah makanan wajib yang harus dimakan, belum ada istilah wisata kuliner di tatanan masyarakat dan  hampir tidak ada makanan terbuang.

Seiring bergulirnya waktu, negara mulai stabil maka sektor pertanian mulai di kembangkan oleh pemerintah. Pada masa orde baru revolusi hijau digerakkan, intensifikasi & ekstensifikasi pertanian digalakkan. Jargon panca usaha tani menggema di desa-desa, program-progam ketahanan pangan nasional kala itu sangat pesat. Beberapa kebijakan pemerintah kala itu adalah subsidi pupuk & benih bagi petani, pembangunan bandungan di berbagai wilayah, pembentukan lembaga pemerintah seperti bulog, pertani, shang hyang sri, dll.  

Revolusi hijau pada masa itu memberi hasil yang memuaskan, pemerintah sering kali mendapat penghargaan dari lembaga internasinal dengan suksesnya program ketahanan pangan. Di sisi lain tantangan baru muncul dengan suksesnya program revolusi hijau, salah satunya adalah ketergantungan masyarakat dengan beras. Beras menjadi makanan pokok yang harus dimakan oleh masyarakat,ada obrolan dari sebagian masyarakat kalau belum makan nasi belum disebut makan. 

Masyarakat yang sebelumnya pada awal kemerdekaan dan pra kemerdekaan biasa makan apa saja yang dapat dimakan seperti singkong, tiwul, jagung, sagu, gaplek lambat laun seperti menjadi ketergantungan pada nasi beras. Permintaan beras di masyarakat menjadi meningkat pesat, disisi lain pertumbuhan penduduk juga semakin meningkat. 

Pemerintah bukannya tutup mata dengan resiko yang terjadi akibat revolusi hijau, program program untuk mengantisipasi kondisi tersebut di canangkan,  seperti digalakkan program Keluarga Berencana dan dua anak cukup bagi Pegawai Negeri Sipil dan digalakkannya program transmigrasi untuk membuka lahan pertanian baru. Namun di sisi lain beberapa akademisi dan aktivis mengatakan dan berasumsi kalau penyeragaman makanan pokok beras memang sengaja digiring oleh pemerintah sebagai salah satu agenda politik kala itu. 

Pemerintahan kala itu beranggapan jika dapat mengendalikan pangan di masyarakat maka stabilitas politik akan dapat dikendalikan pula. Meskipun asusmsi tersebut belum dapat dibuktikan, namun pada akhir kekuasaan orde baru salah satu lembaga pangan pemerintah bulog ikut terseret arus politik dan menjadi salah satu syarat IMF untuk mengucurkan dana talangan.

Sekarang dalam era modern ketahanan pangan mulai kritisi oleh beberapa akademisi agar diganti istilah menjadi "kedaulatan pangan". Katahanan pangan disebutkan memiliki arti yang sempit. Sedangkan Kedaulatan Pangan mencakup artian yang lebih luas, termasuk didalamnya setiap individu harus memikirkan, bertanggung jawab dan memiliki andil dalam kondisi pangan secara nasional. Urusan pangan bukan hanya urusan pemerintah, namun setiap warga negara harus andil. 

Untuk memperoleh kedaulatan pangan nasional harus diiringi kedaulatan dalam mengelola makanan setiap individu, setiap keluarga, setiap kelompok masyarakat baik meraka sebagai produsen pangan maupun konsumen pangan. Selama ini masalah pangan selalu dibebankan kepada sektor produksi,masalah suplay menjadi kambing hitam segala masalah pangan. Paradikma itu sekarang harus bergeser,  kalau konsumen juga memberi andil dalam berbagai masalah pangan. Salah satu contoh masalah yang disebabkan pihak konsemen adalah semakin banyaknya sampah makanan yang dibuang oleh masyarakat.

Kepala Perwakilan Badan Pangan PBB (FAO), Mark Smulders pada tahun 2016 mengatakan, di Indonesia sampah makanan mencapai 13 juta ton setiap tahunnya. Sampah makanan ini kebanyakan dari ritel, katering, dan restoran. Perilaku masyarakat yang sering nggak menghabiskan makanan juga berkontribusi terhadap besarnya jumlah sampah makanan di Indonesia. Sebanyak 13 juta ton sampah makanan per tahun di Indonesia tersebut jika dikelola dengan baik bisa menghidupi lebih dari 28 juta orang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun