"Setiap anak berhak atas masa kecil yang aman dan penuh kasih. Ketika lembaga penegakan hukum gagal melindungi anak-anak dari eksploitasi, kita tidak hanya melanggar hak mereka, tetapi juga menghancurkan masa depan bangsa." ~Dr. Siti Nurjanah~
Anak merupakan subjek hukum yang memiliki hak fundamental untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan sejahtera. Prinsip ini tercermin dalam berbagai instrumen hukum internasional, termasuk Konvensi Hak Anak 1989 yang menegaskan perlunya perlindungan terhadap anak dari eksploitasi ekonomi dan dampaknya terhadap kesehatan fisik, mental, serta sosial mereka. Dalam konteks nasional, Pasal 20 Undang-Undang Perlindungan Anak menggariskan kewajiban negara, pemerintah daerah, serta masyarakat dalan menjamin hak-hak anak agar mereka tidak menjadi korban eksploitasi tenaga kerja.
Cerpen "Seorang Nenek Tua" karya W.S. Rendra menggambarkan realitas sosial yang mengilustrasikan bagaimana ketimpangan ekonomi dan kegagalan sistem perlindungan hukum berkontribusi terhadap eksploitasi anak. Tokoh utama, Kadir, menjadi representasi dari anak-anak yang terpaksa bekerja akibat tekanan ekonomi dan minimnya intervensi negara. Dalam diskursus perlindungan anak, fenomena ini mengindikasikan permasalahan struktural yang memerlukan pendekatan multidisipliner guna menemukan solusi komprehensif.
Hak anak sebagai bagian dari hak asasi manusia menuntut adanya perlindungan hukum yang efektif. Pasal 32 ayat (1) Konvensi Hak Anak 1989 menyatakan bahwa "Negara peserta mengakui hak anak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan dari pekerjaan yang dapat membahayakan kesejahteraan fisik, mental, tal, spiritual, atau sosial mereka." Namun, dalam implementasinya, perlindungan ini sering kali terhambat oleh berbagai faktor, termasuk keterbatasan sumber daya, lemahnya koordinasi kelembagaan, serta rendahnva kesadaran masyarakat.
Di Indonesia, lembaga perlindungan anak menghadapi kendala yang kompleks dalam menjalankan mandatnya. Pertama, keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia menyebabkan lemahnya respons terhadap kasus-kasus eksploitasi anak. Kedua, koordinasi lintas lembaga yang tidak optimal sering kali mengakibatkan tumpang tindih kebijakan serta inkonsistensi dalam penerapannya. Ketiga, minimnya akses terhadap layanan perlindungan anak, terutama di daerah pedalaman, memperburuk risiko eksploitasi anak yang tidak terdeteksi atau tidak mendapatkan intervensi yang memadai.
Selain faktor struktural, tingkat kesadaran masyarakat yang rendah mengenai pentingnya perlindungan anak juga menjadi kendala utama. Banyak kasus eksploitasi anak yang tidak dilaporkan akibat ketidaktahuan atau normalisasi kerja anak sebagai bagian dari strategi bertahan hidup keluarga miskin. Hal ini menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih integratif antara kebijakan negara dan upaya pemberdayaan masyarakat. Dalam cerpen ini, Kadir digambarkan sebagai anak yang harus memikul tanggung jawab ekonomi yang seharusnya menjadi tanggungan orang dewasa. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
"Kadir mengusulkan supaya ia sendiri saja yang menjualnya layang-layang sementara itu neneknya bisa mencari pekerjaan tambahan lainnya." ~W.S. Rendra~
Kutipan ini menegaskan bahwa kemiskinan struktural telah memaksa Kadir untuk mengesampingkan hak-haknya sebagai anak demi kelangsungan hidup keluarganya. Keadaan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan anak yang menekankanpentingnya akses terhadap pendidikan dan pengasuhan yang layak.
"Kadir sudah tak berayah ibu lagi lebih tepat ia sudah tak beribu lagi. karena keberdaan ayah nya tidak diketahui. " ~W.S. Rendra~
Ketidakhadiran orang tua dalam kehidupan Kadir memperlihatkan bagaimana anak-anak dalam kondisi sosial tertentu lebih rentan mengalami eksploitasi. Dalam perspektif teori ketidakadilan struktural, kasus Kadir mencerminkan kegagalan negara dalam menyediakan jaring pengaman sosial yang efektif bagi kelompok rentan.
Sebagai seorang sastrawan yang dikenal dengan kritik sosialnya, Rendra tidak hanya menggambarkan penderitaan individu, tetapi juga menyoroti realitas sosial yang lebih luas. Melalui cerpen ini, ia mengangkat isu kegagalan sistem perlindungan sosial dalam menangani eksploitasi anak dan mengajak pembaca untuk merefleksikan peran negara dalam melindungi hak-hak anak. Dalam konteks kebijakan, beberapa langkah yang dapat diambil untuk memperbaiki sistem perlindungan anak di Indonesia meliputi: Penguatan kapasitas lembaga perlindungan anak dengan meningkatkan alokasi anggaran dan pelatihan bagi tenaga profesional di bidang perlindungan anak. Peningkatan koordinasi antarinstansi pemerintah untuk memastikan implementasi kebijakan yang lebih efektif dan menghindari fragmentasi dalam penanganan kasus eksploitasi anak. Edukasi dan pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran mengenai hak-hak anak serta mendorong keterlibatan masyarakat dalam upaya pencegahan eksploitasi anak. Peningkatan akses terhadap layanan perlindungan anak dengan membangun pusat layanan di daerah terpencil dan menyediakan mekanisme pelaporan yang lebih mudah diakses oleh masyarakat.Â
Cerpen "Seorang Nenek Tua" tidak hanya sekadar menyajikan narasi tentang kehidupan seorang anak miskin, tetapi juga menjadi kritik terhadap sistem sosial yang gagal melindungi kelompok paling rentan dalam masyarakat. Analisis terhadap cerpen ini mengungkapkan bahwa eksploitasi anak bukan hanya masalah individu, tetapi merupakan manifestasi dari permasalahan struktural yang membutuhkan solusi sistemik.
Dengan pendekatan multidisipliner yang menggabungkan aspek hukum, sosial, dan kebijakan publik, eksploitasi anak dapat ditangani secara lebih efektif. Negara, masyarakat, dan institusi pendidikan memiliki peran yang sangat krusial dalam membangun sistem perlindungan anak yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Oleh karena itu, reformasi kebijakan dan peningkatan kesadaran masyarakat menjadi langkah esensial dalam memastikan bahwa setiap anak mendapatkan haknya untuk tumbuh dalam lingkungan yang aman dan mendukung.
Artikel ini adalah publikasi tugas Apresiasi dan Kritik Sastra dengan Dosen Pengampu Jakaria, S.S., M.A.