Demo dan Tuduhan Anarkis
Beberapa hari terakhir, Indonesia kembali diguncang oleh gelombang aksi demo besar-besaran. Isu soal DPR, tunjangan fantastis, serta kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada rakyat membuat ribuan orang turun ke jalan. Namun, seperti biasa, muncul narasi yang mencoba membelokkan tujuan mulia demo ini bahwa pendemo disebut anarkis karena membakar halte.
Pertanyaannya: benarkah demikian? Atau justru ini adalah strategi provokasi untuk menjatuhkan citra rakyat?
Fakta di Lapangan: Video Pembakar Halte Terekam
Sebuah rekaman video yang beredar di media sosial TikTok (@infipop.id) dan Instagram menunjukkan hal yang mencurigakan. Dalam video tersebut, terlihat seseorang datang dengan motor sambil membawa tangga dan mesiu, lalu menghancurkan halte dan membakarnya. Sementara itu, kesaksian langsung dari massa aksi mengatakan:
"Bener-bener pas gua lagi nolongin korban kena selongsong, massa aksi tuh jagain medis. Semua kompak. Kalau halte tempat medis standby aja bisa tiba-tiba kebakar, tahu lah penyebabnya siapa."
Artinya, massa aksi sibuk melindungi tenaga medis, bukan malah melakukan aksi vandalisme. Maka logika sederhana saja, dari mana datangnya orang yang tiba-tiba bawa tangga dan mesiu ke tengah demo?
(Sumber video: Instagram @shazqieaulia via infipop)
Pola Lama yang Berulang: Provokator di Tengah Demo
Kita tidak bisa lupa kasus 2020, ketika Halte Sarinah juga terbakar saat demo menolak Omnibus Law. Belakangan, laporan investigasi seperti yang dibongkar dalam program Mata Najwa (2020) menunjukkan bahwa pembakaran bukan dilakukan mahasiswa atau buruh, melainkan pihak luar yang menyusup. Sekarang, pola yang sama kembali terjadi.
Tahun 2020: halte dibakar, demo langsung dicap anarkis.
Tahun 2025: halte lagi-lagi dibakar, padahal massa tidak ada yang membawa peralatan untuk itu.
Ini menunjukkan kemungkinan kuat adanya pihak yang sengaja melakukan provokasi agar rakyat terlihat jahat di mata publik.
Media dan Framing Berita
Sayangnya, framing di media sering lebih menyorot "halte terbakar" ketimbang tuntutan demo. Padahal, yang paling penting adalah aspirasi rakyat tentang keadilan, kesejahteraan, dan kebijakan DPR.
Kita harus sadar bahwa opini publik bisa digiring hanya dengan satu headline "Pendemo Anarkis, Halte Dibakar." Narasi ini langsung menutupi perjuangan rakyat yang sebenarnya damai.
Fitnah yang Menyakitkan
Sebagai rakyat, saya merasa fitnah ini sangat menyakitkan. Bayangkan: rakyat sudah lelah, berjuang, menghadapi gas air mata, bahkan ada korban luka. Tapi masih harus dituduh sebagai "perusuh" gara-gara ulah segelintir provokator yang disusupkan.
Apakah adil? Tentu tidak. Kata maaf pun tidak akan cukup untuk menghapus rasa sakit ini. Apalagi ketika pejabat yang seharusnya mendengar suara rakyat justru diam seribu bahasa.
Jika pola ini terus dibiarkan, rakyat bisa kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah maupun media. Karena kebenaran yang nyata di lapangan dipelintir hanya demi kepentingan politik.
Maka dari kita harus berhati-hati, Jangan Mau Diadu!
Kita tidak boleh terprovokasi. Demo adalah hak rakyat, bagian dari demokrasi. Jangan biarkan narasi pembakaran halte memecah belah perjuangan. Fokus pada tujuan utama yaitu menyampaikan aspirasi dan menolak ketidakadilan.
Ingatlah, sejarah sudah membuktikan di tahun 1998 dan tahun 2020, hingga kini 2025, selalu ada pihak yang menunggangi demo dengan aksi provokatif. Maka mari tetap cerdas, jangan mudah termakan fitnah, dan jangan sampai kita diadu rakyat lawan rakyat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI