Kutipan Terkenal Epictetus (50–135 M):
“It’s not what happens to you, but how you react to it that matters.”
(Bukan apa yang terjadi padamu yang penting, tetapi bagaimana kamu bereaksi terhadapnya.)
Kutipan ini menggambarkan inti dari Stoikisme: kendali diri dan kebebasan batin. Epictetus mengajarkan bahwa peristiwa eksternal tidak memiliki kekuatan untuk membuat kita menderita—kecuali jika kita sendiri mengizinkannya melalui penilaian negatif atau cara kita memandang situasi tersebut.
Ajaran Epictetus sangat relevan dengan kehidupan modern yang penuh tekanan, kompetisi, dan ketidakpastian. Di dunia yang sering kali penuh tantangan ini, kita diajarkan untuk:
•Berpikir positif,
•Tidak berlebihan terhadap masalah,
•Dan menjaga kebebasan batin di tengah situasi apa pun.
Reaksi Umum (Tanpa Stoikisme):
Karyawan tersebut merasa kecewa, iri, dan menyalahkan atasan atas kekalahan yang dia alami, serta kehilangan semangat kerja. Reaksi ini adalah respons emosional yang biasa terjadi ketika kita menghadapi ketidakadilan atau kekecewaan.
Reaksi Stoik (Menurut Epictetus):
Epictetus mengajarkan untuk berpikir positif dan rasional. Karyawan tersebut bisa berkata, “Saya tidak bisa mengendalikan keputusan atasan, tetapi saya bisa mengendalikan cara saya bekerja dan memperbaiki diri.” Dengan pandangan ini, ia dapat menemukan ketenangan dan motivasi baru untuk berkembang.
1. Pengertian “The Will to Power”:
The Will to Power (Der Wille zur Macht) adalah konsep inti dalam filsafat Nietzsche. Konsep ini bukan hanya keinginan untuk berkuasa secara politik atau fisik, melainkan dorongan dasar kehidupan untuk berkembang, mencipta, dan menegaskan eksistensi diri.
2. “Ja Sagen” – Menyatakan “Ya” pada Kehidupan:
Dari The Will to Power lahir sikap yang disebut Nietzsche sebagai Ja Sagen (bahasa Jerman, berarti to say yes atau menyatakan ya). Sikap ini berarti menerima kehidupan sepenuhnya—termasuk penderitaan, kegagalan, dan kekacauan—tanpa menolaknya atau membaginya secara dikotomik antara baik dan buruk.
Nietzsche menolak cara berpikir yang membagi dunia secara hitam putih (dikotomi moral seperti “baik-jahat”, “suci-dosa”, “sorga-neraka”).
Sebaliknya, ia mengajarkan manusia untuk mengafirmasi kehidupan sebagaimana adanya (Bejahung des Lebens)—menerima realitas secara utuh tanpa menghakimi. “Ja Sagen” adalah keberanian untuk berkata “ya” pada seluruh kehidupan, bukan hanya pada bagian yang menyenankan.
Konsep Amor Fati (mencintai takdir) adalah bentuk tertinggi dari Ja Sagen. Nietzsche tidak hanya mengajak kita untuk menerima nasib, tetapi juga untuk mencintai setiap bagian dari kehidupan—bahkan penderitaan dan kesedihan—sebagai sesuatu yang indah dan bermakna. Jadi, Ja Sagen adalah sikap aktif yang menegaskan hidup, sementara Amor Fati adalah bentuk cinta terdalam terhadap kehidupan yang dijalani.
4. Hubungan dengan Pemikiran Demokritos:
Demokritos berpendapat bahwa segala sesuatu tersusun atas atom (a-tomos: “tidak terbagikan”). Bagi Nietzsche, seperti atom yang tidak bisa dipecah, kehidupan juga harus diterima sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak dibelah menjadi “bagian baik” dan “bagian buruk”. Dengan demikian, Nietzsche menolak pembagian moral tradisional dan menegaskan bahwa kehidupan—dengan semua suka dan dukanya—harus diterima sebagai satu realitas tunggal yang tidak terpisahkan.