Jika warga negara dibesarkan sebagai manusia-manusia yang bernalar, maka mereka akan lebih mudah memahami kebijaksanaan yang terkandung dalam prinsip-prinsip dasar kehidupan bernegara. Lalu apa yang paling penting dari sebuah nalar? Pendidikan menjadi titik pangkal segala bentuk peradaban. Pendidikan bukan sekadar proses transfer pengetahuan, tetapi sebagai fondasi pembentukan akal budi, karakter, dan kesadaran sosial.Â
Dalam pemikiran Leo Rauch, yang menginterpretasikan gagasan Plato dalam Syahadat Pengetahuan, ditegaskan bahwa: pendidikan yang baik akan menuntun pada pemerintahan yang baik, dan pemerintahan yang baik akan melahirkan pendidikan yang baik pula.
Maka, pembangunan manusia hanya mungkin berjalan jika siklus ini berlangsung sehat dan berkesinambungan.
Namun, pertanyaan krusial muncul: seperti apa pendidikan yang baik itu?
Leo Rauch dalam bukunya Menggugat Pendidikan mengajukan bahwa pendidikan ideal adalah pendidikan yang berakar pada tradisi. Pendidikan tidak boleh tercerabut dari seni, sastra, musik, bahkan olah tubuh, karena semua elemen itu adalah bagian dari pembentukan jiwa dan raga yang harmonis.
Ia menyebut pentingnya filterisasi nilai, bahwa anak-anak harus dididik tidak hanya untuk mengetahui, tetapi untuk memilih: mana yang layak diterima dan mana yang patut disisihkan. Jika anak-anak dibiasakan bermain dan tumbuh dalam tatanan yang bernilai, maka masyarakat masa depan pun akan bertumpu pada nilai-nilai tersebut.
Plato, melalui interpretasi para filsuf, juga menyampaikan bahwa pendidikan bukan hanya alat mencetak individu-individu cerdas, tetapi pamong-pamong bangsa, mereka yang siap memimpin dengan akal dan hati. Dan di sinilah gagasan emansipatoris tampil dengan terang: jika pendidikan mampu membentuk seorang lelaki menjadi pemimpin yang adil, maka pendidikan itu pula yang akan membuat perempuan setara dalam tugas-tugas bernegara. Maka, pendidikan tidak hanya menjadi medan teknis, tetapi politis. Ia membentuk keadilan sosial.
Namun kenyataan hari ini masih jauh dari cita-cita itu. Dunia kontemporer justru memperlihatkan ironi besar: kekuasaan dan kebijaksanaan tercerai-berai. Yang memegang kendali politik seringkali bukan yang memiliki pemikiran mendalam.Â
Dan sebaliknya, mereka yang berpikir mendalam justru terpinggirkan dari ruang-ruang kekuasaan. Plato telah mewanti-wanti bahaya ini: jika para filsuf tidak menjadi raja, atau jika raja tidak berpikir seperti filsuf, maka gejolak dan kekacauan akan menjadi siklus sejarah yang terus berulang.
Ini bukan utopia kosong. Plato tidak sedang mengawang-awang. Ia ingin memberi kita cermin bahwa dunia objektif akan selaras jika pemikiran kita tertata, dan dunia subjektif akan jernih jika ia mampu menyerap keteraturan objektif. Â Realtia memang tidak harus dipisahkan dari nalar; justru pemikiran kritis adalah instrumen untuk memahami dunia, bukan melarikan diri darinya.
Di tengah dinamika yang terjadi dihari, pendidikan lebih sering menjadi komoditas dan alat komersialisasi ketimbang kebajikan. Kita patut bertanya ulang terkait ke mana arah kita mendidik manusia?Â