BANDUNGÂ - Di balik sorot lampu, kostum penuh warna, dan atraksi memukau, tersembunyi luka panjang yang tak pernah terlihat oleh mata penonton. Hari ini, publik akhirnya dipaksa membuka mata pada sisi gelap dunia sirkus. Para mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI) angkat bicara---tidak lagi sebagai penghibur, tetapi sebagai korban eksploitasi.
Mereka bukan hanya datang membawa cerita, melainkan membawa luka, bukti, dan tuntutan. Salah satunya, melalui kuasa hukum, menggugat Taman Safari Indonesia (TSI) dengan nilai somasi mencapai Rp 3,5 miliar. Bukan sekadar angka, nominal ini adalah representasi dari derita yang terpendam selama puluhan tahun.
Komisaris Taman Safari Indonesia, Tony Sumampouw, mengakui bahwa sebagian besar eks pemain OCI direkrut dari panti asuhan di Kalijodo sejak kecil. Mereka diambil, dibesarkan, dan "dilatih" untuk tampil sebagai penghibur dalam sirkus. Di permukaan, ini bisa saja dipoles sebagai program pelatihan seni dan pertunjukan. Namun, kesaksian para eks pemain mematahkan ilusi itu sepenuhnya.
Vivi misalnya, salah satu eks pemain, mengaku mengalami kekerasan fisik oleh oknum pengelola. ia bahkan mengaku diseret, dikurung di kandang macan, dan mengalami penyiksaan brutal. Ia kabur lewat hutan demi menyelamatkan diri, hanya untuk kembali ditangkap dan disetrum di bagian tubuh sensitif.
ia juga menyatakan tidak mengetahui siapa dirinya sebenarnya---ia diambil sejak lahir oleh bos sirkus dan dibesarkan di lingkungan penuh kekerasan. Fakta bahwa seseorang kehilangan identitas sejak lahir bukan hanya menyayat, tetapi mengindikasikan praktik sistematis perampasan hak sipil dan eksistensial terhadap individu.
Kisah lain datang dari eks pemain juga, yang mengalami hal serupa bahkan hidup sebagai alat sirkus sejak kecil, tanpa tahu siapa dirinya sebenarnya. Ia dirantai menggunakan rantai gajah, dipaksa tampil saat hamil, bahkan dijejali kotoran gajah karena mencuri makanan.Â
Ia mengaku kesulitan buang air karena perlakuan penyekapan yang ekstrem. Setelah melahirkan, ia bahkan dipisahkan dari bayinya, kehilangan hak menyusui sebagai seorang ibu. Apa yang dilakukan terhadap keduanya bukan hanya pelanggaran etika biasa---itu adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Taman Safari Indonesia (TSI) telah merespons dengan menyatakan bahwa mereka hanya bermitra dengan OCI, tidak terlibat langsung dalam pengelolaan. Namun, pernyataan tersebut tidak cukup. Kemitraan adalah bentuk kolaborasi dan dalam kolaborasi, ada tanggung jawab moral dan etik yang tak bisa diabaikan.
Jika benar OCI menjadi bagian dari atraksi sirkus yang tampil di kawasan TSI, maka TSI tidak bisa bersembunyi di balik dalih administratif. Keuntungan dari hasil pertunjukan yang dihasilkan oleh tubuh-tubuh yang tersiksa adalah bentuk keterlibatan yang tidak bisa dinegasikan.
Apa yang dialami eks pemain lainnya tidak berhenti pada kekerasan fisik. Ini adalah bentuk perbudakan modern yang ditopengi oleh dalih pendidikan dan pelatihan. Mereka kehilangan hak atas pendidikan formal, identitas, kebebasan, bahkan tubuh mereka sendiri.