Pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memiliki berbagai visi, salah satunya adalah delapan program hasil terbaik cepat di mana program utama yang mereka selalu janjikan adalah memberikan makan siang dan susu gratis.Â
Dalam berbagai debat Capres tahun 2024 pun, program makan siang dan susu gratis berulang kali diutarakan sebagai solusi dari berbagai permasalahan yang ada, seperti menghapus kemiskinan yang ekstrem, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengatasi angka kematian ibu hamil, menaikkan angka kesehatan anak kurang gizi, serta yang paling utama adalah dapat mengatasi stunting.Â
Prabowo terus meyakinkan masyarakat bahwa program makan siang dan susu gratis merupakan program yang sangat logis dan dibutuhkan untuk seluruh masyarakat Indonesia, terutama sangat dibutuhkan dalam mengatasi stunting yang cukup mengkhawatirkan saat ini.
Namun, hal yang menjadi persoalan adalah apakah program tersebut benar-benar dapat mengatasi stunting?
Persoalan Stunting
Stunting merupakan salah satu kondisi gagal pertumbuhan pada anak akibat kekurangan gizi dalam jangka waktu yang lama sehingga stunting dapat dikatakan termasuk dalam masalah gizi yang sangat kronis. Stunting disebabkan oleh berbagai faktor, yakni anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif, minimnya kualitas gizi MPASI, serta yang paling sering terjadi adalah sang ibu mengalami malnutrisi atau terkena infeksi ketika hamil.Â
Stunting juga diartikan sebagai suatu keadaan di mana tubuh secara fisik pendek atau sangat pendek yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) dengan ambang batas (z-score) antara -3 SD sampai dengan -2 SD. Anak-anak dapat dikategorikan stunting jika panjang atau tinggi badannya kurang dari -3 SD dari median Standar Pertumbuhan Anak menurut World Health Organization (WHO) untuk jenis kelamin dan kategori usia yang serupa.
Namun, stunting bukan hanya sekedar urusan tinggi dan berat badan, tetapi hal yang mengkhawatirkan adalah gangguan perkembangan otak yang mengakibatkan minimnya kemampuan anak untuk belajar, keterbelakangan mental, penurunan produktivitas saat dewasa, peningkatan risiko kematian perinatal dan neonatal, serta eksistensi penyakit-penyakit metabolik yang mengancam nyawa. Stunting merupakan topik yang seharusnya mendapatkan perhatian dari seluruh kalangan karena mengingat dampak yang ditimbulkannya sangat berbahaya.Â
Stunting menjadi masalah kesehatan global dan 165 juta anak menderita penyakit stunting di seluruh dunia. Hal tersebut memicu adanya target atau harapan untuk menurunkan angka kasus stunting sebesar 40% antara tahun 2010 dan 2025. Dengan akses program Sustainable Development Goals (SDGS), WHO menyatakan bahwa segala bentuk malnutrisi, terutama kasus stunting, seluruhnya akan diselesaikan pada tahun 2030.
Negara Indonesia pun memiliki targetnya sendiri dalam mengatasi stunting. Akan tetapi, dalam kutipan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan, angka prevalensi stunting di Indonesia adalah sekitar 21,6% di mana angka tersebut masih belum mendekati target yang telah direncanakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 yang menargetkan angka sebesar 14% di tahun 2024.Â
Pencegahan stunting dapat dilaksanakan dengan berbagai langkah, yaitu asi eksklusif hingga umur 6 bulan, memantau pertumbuhan balita di posyandu, meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil.
Dalam Juknis Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk ibu hamil yang diterbitkan oleh Kemenkes tahun 2023, prinsip yang harus diberikan adalah berupa makanan lengkap siap santap yang kaya akan sumber protein hewani dengan memperhatikan gizi seimbang, menggunakan bahan makanan segar, serta membatasi konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL). Tidak ada satupun prinsip dalam PMT yang menyebutkan pemberian susu dalam menyelesaikan stunting. Jika pemberian susu mengacu kepada prinsip 4 sehat 5 sempurna yang pertama kali muncul pada tahun 1952, maka prinsip tersebut sudah tidak lagi sesuai dengan gaya hidup saat ini.Â