Di sebuah sudut desa Bantar, Kecamatan Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara, berdirilah sebuah usaha kecil yang mungkin terlihat sederhana dari luar. Namun siapa sangka, di balik warung angkringan itu tersimpan kisah semangat, ketekunan, dan keberanian seorang remaja dalam mengejar mimpi dan kemandirian. Usaha itu bernama “Angkringan Balap”, dan pemiliknya adalah seorang pelajar SMA bernama Muhammad Syahrul Ramadhan.
Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih dalam tentang perjalanan Syahrul dalam merintis usahanya. Mulai dari latar belakang, motivasi, tantangan, filosofi nama uniknya, hingga bagaimana UMKM ini menjadi cermin semangat muda di pedesaan. Diharapkan kisah ini bisa menjadi inspirasi bagi banyak anak muda lainnya di seluruh Indonesia.
Mengenal Sosok Muhammad Syahrul Ramadhan
Muhammad Syahrul Ramadhan adalah siswa kelas 3 SMA yang tinggal di desa Bantar, Banjarnegara. Ia memulai usaha kulinernya di usia 18 tahun—usia yang bagi banyak orang masih dianggap terlalu muda untuk menjalankan sebuah usaha sendiri. Namun bagi Syahrul, usia bukanlah penghalang, melainkan peluang.
“Daripada hanya nongkrong atau main HP, saya ingin mencoba sesuatu yang lebih menantang dan bisa bermanfaat, setidaknya buat diri saya sendiri dulu,” ujar Syahrul saat diwawancarai.
Dengan tekad kuat dan semangat untuk belajar, Syahrul memulai langkah awalnya di dunia wirausaha. Ia tidak menunggu lulus kuliah, apalagi menunggu bantuan besar dari siapa pun. Ia memulainya dari apa yang ia bisa, dengan modal semangat dan keberanian.
Kenapa Memilih Usaha Angkringan?
Bagi Syahrul, angkringan bukan sekadar usaha kuliner. Angkringan adalah tempat berkumpul, bercerita, dan menjalin kedekatan. Ia melihat potensi dari budaya nongkrong yang begitu akrab dengan masyarakat, terutama kalangan muda. Dari situ muncul gagasan:
“Saya suka nongkrong. Daripada hanya jadi pelanggan, kenapa tidak jadi pemilik tempat nongkrong itu?”
Motivasi utamanya adalah mencari pengalaman dan membangun tempat berkumpul yang nyaman di desa. Ia ingin menyediakan ruang yang santai, merakyat, dan dapat dijangkau oleh siapa pun. Dalam hal ini, Syahrul tidak hanya menjalankan usaha, tapi juga berkontribusi secara sosial.
Berdirinya Angkringan Balap: Tanggal Bersejarah
Tanggal 13 Februari 2024 menjadi titik awal Angkringan Balap beroperasi. Dengan modal sederhana, ia mulai membuka angkringan di desa Bantar. Tak ada seremoni, tak ada promosi besar-besaran, hanya semangat seorang remaja yang ingin mencoba sesuatu yang berbeda.
Saat itu, Syahrul masih aktif sebagai pelajar kelas 3 SMA. Aktivitasnya cukup padat, namun ia menyusun waktu sedemikian rupa agar pendidikan dan bisnis tetap bisa berjalan berdampingan. Sepulang sekolah, ia langsung pulang ke rumah, mengganti pakaian, lalu menuju lokasi angkringannya.
Filosofi Nama “Angkringan Balap”
Nama "Angkringan Balap" terdengar unik, bahkan menggelitik. Tapi nama ini bukan tanpa makna. Justru, di balik nama tersebut tersimpan filosofi dan kisah perjuangan Syahrul dalam menaklukkan rutinitas hariannya.
Setiap hari, setelah pulang sekolah, Syahrul harus menempuh jarak yang cukup jauh dari sekolah ke rumah, lalu segera bersiap untuk membuka angkringan. Proses ini harus dilakukan dengan cepat. Ia merasa seolah sedang “membalap waktu”.
“Saya harus ngebut dari sekolah ke rumah, lalu lanjut ke angkringan. Rasanya seperti balapan tiap hari. Maka dari itu saya beri nama Angkringan Balap,” jelasnya sambil tersenyum.
Filosofi ini menggambarkan kecepatan, semangat, dan perjuangan waktu—tiga elemen penting dalam menjalankan bisnis sambil bersekolah.
Lokasi Usaha: Di Desa, Tapi Penuh Potensi
Angkringan Balap beralamat di Desa Bantar, Kecamatan Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Meski berlokasi di pedesaan, Syahrul tidak memandangnya sebagai hambatan. Justru ia melihat ada peluang besar.
Desa Bantar belum banyak memiliki tempat tongkrongan yang nyaman dan terjangkau. Dengan membuka angkringan, ia menyediakan alternatif baru bagi warga, terutama anak muda yang ingin berkumpul tanpa harus jauh-jauh ke kota.
Namun demikian, Syahrul mengakui bahwa lokasi tersebut juga menyimpan tantangan tersendiri.
Tantangan yang Dihadapi
Syahrul tidak memungkiri bahwa perjalanan membangun angkringan tidak semulus yang dibayangkan. Beberapa kendala yang ia hadapi di awal usaha antara lain:
1. Alat Masak yang Kurang Memadai
Dengan modal terbatas, Syahrul hanya mampu membeli peralatan masak dasar. Hal ini membuat proses memasak menjadi kurang efisien, baik dari segi waktu maupun hasil sajian.
2. Lokasi Kurang Strategis
Meskipun berada di desanya sendiri, lokasi angkringan tidak berada di jalur utama yang ramai. Hal ini membuat tantangan dalam menarik pengunjung baru semakin besar.
3. Minimnya Media Promosi
Angkringannya belum memiliki spanduk atau pencahayaan yang cukup. Di malam hari, keberadaan angkringan sulit terlihat oleh orang yang melintas. Hal ini tentu berdampak langsung pada jumlah pelanggan.
Namun semua itu tidak membuat Syahrul menyerah. Ia menjadikan setiap hambatan sebagai bahan evaluasi dan pembelajaran.
“Saya tahu angkringan saya masih jauh dari sempurna. Tapi kalau nunggu semuanya sempurna, mungkin nggak akan jalan-jalan,” katanya dengan nada optimis.
Manajemen Waktu: Antara Sekolah dan Usaha
Salah satu tantangan terbesar bagi Syahrul adalah membagi waktu antara belajar dan berwirausaha. Ia menyadari bahwa pendidikan tetap menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, ia mengatur jadwal dengan ketat.
Sepulang sekolah, ia hanya memiliki waktu singkat untuk bersiap membuka angkringan. Malam harinya, setelah tutup, ia kembali belajar atau mengerjakan tugas. Rutinitas ini dijalaninya dengan konsisten.
“Capek sih pasti. Tapi saya nikmati prosesnya. Ini juga latihan untuk disiplin dan tanggung jawab,” ucapnya.
Dukungan dari Keluarga dan Teman
Meskipun awalnya keluarga sempat khawatir, lama kelamaan mereka mulai melihat keseriusan Syahrul. Kini, keluarga menjadi pendukung utama, baik secara moral maupun kadang membantu operasional sederhana.
Teman-teman sekolahnya pun sering mampir ke angkringan, bahkan membantu mempromosikan melalui media sosial. Ini menjadi bukti bahwa dukungan sosial sangat penting dalam keberlangsungan UMKM muda.
Menu Sajian di Angkringan Balap
Angkringan Balap menyajikan menu-menu khas angkringan tradisional seperti:
Nasi kucing
Sate usus, sate telur puyuh
Tempe goreng, tahu bacem
Minuman hangat seperti wedang jahe, kopi hitam, teh manis
Harga yang ditawarkan sangat terjangkau, mulai dari Rp1.000 hingga Rp5.000 per item. Hal ini menjadikan angkringan sebagai tempat favorit anak muda dan warga sekitar.
Pesan untuk Generasi Muda
Saat ditanya apa pesan yang ingin disampaikan kepada anak muda lainnya, Syahrul menjawab dengan tegas:
“Jangan takut mulai. Nggak harus nunggu punya semuanya dulu. Mulai aja dari yang ada.”
Pesan ini sangat relevan dengan situasi banyak anak muda yang masih ragu atau menunggu momen “sempurna” untuk berwirausaha. Padahal, seperti yang dicontohkan Syahrul, langkah kecil yang konsisten bisa membawa perubahan besar.
Potensi Pengembangan di Masa Depan
Meski masih dalam tahap awal, Syahrul sudah memikirkan langkah-langkah pengembangan ke depan, seperti:
Memperbaiki fasilitas angkringan (pencahayaan, tempat duduk, dekorasi)
Meningkatkan promosi melalui media sosial
Mengembangkan menu dan cita rasa
Menyusun sistem pencatatan keuangan yang rapi
Ia juga bermimpi suatu hari nanti bisa membuka cabang Angkringan Balap di beberapa titik lain di Banjarnegara.
Harapan untuk Pemerintah dan Sekolah
Syahrul berharap agar pemerintah daerah dan pihak sekolah bisa lebih mendukung inisiatif wirausaha dari pelajar. Misalnya melalui:
Pelatihan kewirausahaan untuk siswa
Fasilitasi modal awal bagi UMKM pelajar
Pameran usaha siswa di sekolah
Pembinaan dan mentoring bisnis
Dengan dukungan tersebut, Syahrul yakin akan ada lebih banyak pelajar yang berani menekuni wirausaha sejak dini.
Penutup: Sebuah Inspirasi dari Desa
Kisah Muhammad Syahrul Ramadhan dan Angkringan Balap adalah bukti nyata bahwa semangat wirausaha bisa tumbuh dari mana saja—bahkan dari desa kecil seperti Bantar. Yang dibutuhkan bukan kemewahan, melainkan keberanian untuk memulai, semangat belajar, dan tekad untuk terus berkembang.
Semoga semakin banyak generasi muda yang terinspirasi dari kisah ini. Karena pada akhirnya, kemajuan bangsa tidak hanya bergantung pada mereka yang besar di kota, tetapi juga pada anak-anak desa yang berani bermimpi dan bergerak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI