Overload Informasi
Setiap hari kita disuguhi ratusan berita buruk: perang, bencana, kecelakaan, kasus kekerasan. Awalnya kita kaget dan peduli. Tapi lama-lama, kita kebal. Empati kita tumpul karena terlalu sering "dipaksa" merasakan.
Budaya Respons Instan
Di media sosial, kecepatan lebih dihargai daripada kedalaman. Orang berlomba-lomba menjadi yang pertama berkomentar, kadang tanpa membaca keseluruhan konteks. Akibatnya, empati dikorbankan demi eksistensi.
Anonimitas dan Jarak Emosional
Di balik layar, kita merasa lebih bebas. Kata-kata kasar lebih mudah keluar karena kita tak melihat ekspresi lawan bicara. Tak ada tatapan mata yang mengingatkan bahwa kita sedang menyakiti sesama manusia.
Fenomena Komentar dan Cancel Culture
Banyak orang dengan cepat menghakimi, mem-bully, atau "mencancel" tanpa benar-benar memahami situasi. Empati digantikan oleh amarah massal.
Bab 3: Generasi yang Tumbuh Tanpa Pelukan
Ada satu generasi yang besar dengan interaksi digital sejak kecil---mereka yang kini remaja dan dewasa muda. Mereka belajar mengekspresikan diri lewat emoji, bukan pelukan. Mereka lebih percaya pada Google ketimbang orang tua.
Dampaknya?
Banyak yang merasa kesulitan memahami ekspresi orang lain secara langsung.
Tidak terbiasa menangani konflik secara tatap muka.
Lebih nyaman curhat lewat teks daripada berbicara langsung.
Padahal, empati tumbuh dari kontak manusia yang nyata---dari melihat mata yang berkaca-kaca, mendengar suara yang bergetar, atau menggenggam tangan seseorang yang sedang sedih.