Mohon tunggu...
NAVID ZILQISTAS
NAVID ZILQISTAS Mohon Tunggu... mahasiswa uin prodi ilmu komunikasi 2024

24107030142

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kesepian di Era Digital: Ketika Dunia Ramai, Tapi Hati Sepi

13 Juni 2025   14:29 Diperbarui: 13 Juni 2025   14:29 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Manusia: Makhluk yang Butuh Dipahami

Lebih dari apapun, manusia ingin dimengerti. Kita ingin didengar tanpa dihakimi, dilihat tanpa harus menunjukkan kelebihan, dan diterima tanpa syarat. Itu sebabnya kesepian terasa begitu menyakitkan --- karena kita merasa tak ada yang benar-benar mengerti.

Padahal, setiap orang punya cerita. Setiap orang butuh tempat pulang. Dan kadang, rumah terbaik bukan bangunan, tapi hati yang bersedia menerima kita apa adanya.

Budaya Produktivitas yang Menyingkirkan Rasa

Salah satu penyebab kesepian hari ini adalah budaya yang menilai manusia dari output, bukan dari rasa. Kita diajarkan sejak kecil bahwa hidup yang baik adalah hidup yang sibuk. Maka, kesibukan menjadi status simbol, dan diam dianggap kegagalan.

Dalam lingkungan seperti itu, perasaan menjadi hal yang dikorbankan pertama. Tak ada ruang untuk jujur soal lelah, tentang takut gagal, atau bahkan soal ingin sekadar menangis tanpa alasan.

Kita menjadi aktor dalam panggung kehidupan yang tak pernah mati lampu. Selalu tampil, selalu tersenyum, bahkan saat hati berdarah. Akibatnya, kesepian tumbuh dalam diam. Ia mengendap, tak bersuara, tapi semakin lama semakin menghimpit.

AI, Chatbot, dan Ilusi Teman Virtual

Di zaman ini, teknologi berkembang luar biasa. Kita bisa ngobrol dengan chatbot, mencurahkan isi hati pada AI, bahkan punya "teman digital" yang tak pernah marah, tak pernah pergi.

Tapi kita lupa: hubungan yang sehat bukan hanya soal didengarkan, tapi juga soal keterlibatan emosional yang nyata. Sebaik apapun teknologi, ia tidak bisa menggantikan pelukan hangat, tatapan penuh perhatian, atau keheningan yang dipenuhi rasa.

Kehadiran virtual bisa menjadi pelipur lara sesaat, tapi ia bukan solusi jangka panjang. Kita tetap butuh manusia --- dengan segala kekurangannya. Karena justru dalam ketidaksempurnaan itu, keterikatan tumbuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun