Di zaman ketika semua orang terhubung melalui layar, kita hidup dalam ilusi kebersamaan. Notifikasi masuk tak berhenti, obrolan grup tak pernah sunyi, dan segala momen dibagikan dalam bentuk foto atau video. Tapi ironisnya, kesepian justru tumbuh subur di balik semua itu.
Duduk sendiri di kamar yang terang-benderang, kita menggulir beranda media sosial --- mencari kedekatan, tapi justru merasa semakin jauh dari semua orang. Kita menyapa ratusan orang lewat emoji, tapi tak tahu kepada siapa harus bercerita saat hati sedang hancur.
Kesepian: Bukan Sekadar Sendiri
Kesepian bukan hanya tentang tidak punya teman. Banyak orang yang dikelilingi keramaian tapi tetap merasa hampa. Ini karena kesepian adalah kondisi emosional, bukan kondisi sosial.
Seorang pekerja kantoran bisa merasa sepi meski kantornya ramai. Seorang ibu rumah tangga bisa merasa sepi meski setiap hari bersama keluarga. Bahkan mereka yang populer dan sering tampil di media sosial pun, tak sedikit yang diam-diam berteman dengan sunyi.
Apa yang salah dengan dunia hari ini?
Hyperconnectivity, Hypoempati
Dunia kini terlalu terhubung secara digital, tapi terlalu jauh secara empati. Kita tahu teman kita sedang di Bali, tapi tak tahu kalau ia baru saja kehilangan seseorang yang dicintai. Kita melihat tawa, tapi tak melihat tangis yang tersembunyi di balik filter.
Media sosial menjual citra, bukan realita. Maka tak heran, kesepian sering datang dari rasa tak mampu "mengejar kebahagiaan" yang dipamerkan orang lain. Padahal, semua orang sedang berjuang --- hanya saja bentuknya berbeda.
Mengapa Kesepian Berbahaya?
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan mengklasifikasikan kesepian kronis sebagai risiko kesehatan serius. Kesepian yang berkepanjangan dapat menyebabkan: