Mohon tunggu...
Nauval Elnasih
Nauval Elnasih Mohon Tunggu... -

Penulis pemula yang kini tinggal di Denpasar. Bekerja sebagai staf di sekolah swasta dan sesekali mengisi blog.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tertawa di Depan Kematian

26 Januari 2019   17:09 Diperbarui: 26 Januari 2019   17:19 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku hanyalah badut pengocok perut
Aku hanya sebentuk ornamen warna-warni dengan perut gendut
Tertawakanlah Aku...
Tertawakanlah Aku sambil arahkan telunjuk kananmu padaku
Pegang perutmu dengan tangan kirimu
Serta hentakkan kakimu ke tanah berulang
Sepuasmu
Aku hanya akan membalasmu dengan senyuman terbaikku
Yang sebagian orang tahu bahwa itu akan membuatmu pilu

_ _ _
Seorang pemuda duduk di pinggiran taman kota, menyaksikan lalu lalang para pengunjung yang memiliki aneka ragam suasana hati. Ia menyaksikan setiap orang yang lewat di depannya dan sesekali mengedarkan pandangannya ke setiap sudut taman.

Pada salah satu sudut taman, Ia melihat seorang badut tengah beraksi menghibur anak-anak yang berdiri mengelilinginya. Anak-anak itu bernyanyi, bertepuktangan, dan bersorak, mengiringi atraksi-atraksi yang dimainkan Si Badut. Mereka tampak riang dan gembira.

Dari kejauhan, seorang anak beranjak dari pangkuan ibunya. Ia bermaksud mendekati Si Badut. Tangannya menggenggam sebuah donat yang tinggal setengah. Sesampainya di depan Si Badut, anak itu melemparkan donatnya ke wajah Si Badut.

"Donat ini tidak enak. Sama dengan Kamu yang tidak lucu!" ujar anak itu usai melemparkan donatnya.

Anak itu lalu tertawa puas dengan perlakuannya terhadap Si Badut. Di sisi lain, anak-anak yang mulanya riang dan gembira hanya tertegun melihat kejadian itu. Mereka sangat terkejut dengan perlakuan anak pelempar donat yang tiba-tiba melemparkan donatnya pada Si Badut. Tak mereka duga dia berbuat hal demikian.

Berbeda dengan anak-anak itu, ibu dari anak pelempar donat dari tempat duduknya di kejuhan tersenyum kecil setelah melihat kelakuan anaknya pada Si Badut. Senyuman itu terlihat oleh Si Badut dan membuatnya sedikit kesal. 

Namun, kesalnya hilang saat melihat anak-anak di depannya yang hanya diam dan tampak iba padanya. Ia kemudian lebih memilih untuk tidak mempedulikan anak pelempar donat dan ibunya itu dan segera membersihkan noda donat di wajahnya.

"Hei, kenapa Kamu melempar donat pada Paman Badut?" Seorang anak laki-laki yang iba pada Si Badut mendekati anak pelempar donat.
Anak pelempar donat tertawa. "Terserah Aku. Aku bebas melakukan apa yang kumau."

"Kamu jahat!" ucap seorang anak perempuan dari belakang anak pelempar donat, "Kasihan Paman Badutnya."
Merasa dirinya dikeroyok, anak pelempar donat mendekati anak perempuan itu. "Terus Kamu mau apa?" Ia lalu mendorong anak perempuan itu sampai terjatuh.

Melihat kejadian itu, Si Badut langsung sigap memegang anak pelempar donat agar tidak berbuat lebih jauh lagi pada anak perempuan itu. Anak-anak lainnya mencoba membantu anak perempuan itu berdiri lagi."

Tiba-tiba dari kejauhan, Ibu pelempar donat berteriak sambil melangkah setengah berlari, "Badut kampungan, jangan sentuh anakku!" Ia menarik lengan anaknya dari tangan Si Badut.

"Maafkan Saya, Bu. Saya hanya ingin melerainya," jawab Si Badut dengan wajah yang tampak begitu menyesal.
"Ah, sudahlah!" Ibu itu menepiskan tangannya, mengisyaratkan bahwa Ia tak sudi menerima permintaan maaf Si Badut. "Dasar, badut kampungan!" Ia dan anaknya kemudian berlalu dari tempat Si Badut sambil terus menggerutu sepanjang jalan.

Pemuda yang sedari tadi hanya duduk di kejauhan masih setia melihat Si Badut, sampai-sampai Ia tak sadar bahwa sebentar lagi petang. Ia baru sadar saat gawainya berbunyi dan didapatinya sebuah pesan. Segera Ia beranjak meninggalkan taman dan badut itu, bersama para pengunjung yang mulai menuju tempat parkir satu persatu.
_ _ _
Pemuda itu datang kembali ke Taman Kota saat fajar masih lambat menghapus gelap. Ia sengaja datang lebih awal daripada orang-orang yang ingin berolahraga di areal CFD minggu itu. Ia datang bukan untuk berolahraga seperti kebanyakan orang saat itu, tapi Ia datang sambil berharap bisa melihat sosok asli Si Badut saat tanpa riasan konyolnya.

Setibanya di Taman Kota dan hendak memasang standar motornya, suara sirine mobil ambulan tiba-tiba terdengar dari kejauhan dan semakin lama semakin dekat. Pemuda itu keheranan mendapati mobil ambulan yang ternyata menerobos masuk ke areal CFD.

Para petugas medis bergegas keluar dari mobil sambil membawa tandu beroda. Mereka berlari menuju salah satu sudut taman. Betapa terkejutnya pemuda itu saat sudut taman yang dituju adalah sudut tempat Si Badut beraksi sebelumnya. Dengan wajah penuh tanya, Ia segera berlari mengikuti para petugas medis.

Setibanya di sudut taman, didapatinya garis polisi membentang mengitari sebuah area dan hanya yang diijinkan saja yang bisa melewatinya. Namun pemuda itu tak peduli dan mencoba merangsek masuk untuk mengetahui apa yang telah terjadi.

Betapa kagetnya pemuda itu saat mengetahui bahwa ada seorang laki-laki paruh baya yang terbujur kaku di atas rerumputan dengan wajah yang aneh dan mencolok. Tampak laki-laki itu tersenyum dan wajahnya hanya dirias sebagian saja. Ia langsung menduga bahwa laki-laki itu adalah Si Badut yang ingin dilihatnya hari itu. Lalu demi meyakinkan dugannya, Ia mencoba bertanya pada salah satu petugas medis yang hendak mengevakuasi jasadnya.
 

"Maaf, Pak. Apa yang terjadi pada Bapak itu?"
"Beliau meninggal," jawab petugas medis sambil terus melakukan tugasnya.
"Di tempat ini, dengan wajah seperti itu?" Pemuda itu tak bisa menahan rasa penasarannya lebih lama.
"Maaf, Pak. Kami belum bisa mengidentifikasi penyebabnya secara pasti. Tapi..." jawaban petugas medis itu terhenti. Ia seperti ragu melanjutkan perkataannya.
"Tapi apa, Pak?" Pemuda itu semakin tak sabar.
"Sepertinya..." Petugas medis itu mencoba meyakini hasil pemeriksaannya sendiri atas kematian Si Badut, "Dia meninggal karena tertawa."

Pemuda itu hanya diam setelah mendengar dugaan penyebab kematian Si Badut. Ia termenung cukup lama, mencoba menemukan jawaban yang logis tentang hubungan tertawa dan
kematian di hadapannya.
_ _ _
Ada banyak cara yang bisa dilakukan setiap orang untuk menikmati hidup, atau lebih tepatnya dalam menjalani hidup. Beberapa di antara mereka, ada yang menjalani hidup dengan duduk-duduk di pinggir jalan dan menghabiskan malamnya hanya dengan rintihan, mengabaikan rintik hujan atau angin yang berhembus mencekam. 

Ada juga di antara pemudanya yang menghabiskan malam dengan kebut-kebutan, mengendarai motor berbonceng tiga sambil mengangkat roda depannya, mengabaikan jalanan yang sempit atau kendaraan yang lalu lalang. Masih banyak cara mereka dalam menjalani hidupnya, namun pada akhirnya cara-cara itu akan menuju pada satu muara, kematian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun