KORBAN PINJOL : CEPAT CAIR, LAMA MENDERITA
Oleh : Muhamad Naufal Ramadan
Dalam beberapa waktu terakhir, pinjaman online telah menjadi fenomena sosial yang tidak bisa diabaikan. Awalnya ditawarkan sebagai Solusi keuangan cepat, pinjol kini lebih sering meninggalkan jejak luka, trauma, dan hutang jangka Panjang. Dibalik proses pencairan yang instan, tersembunyi skema bunga enkripsi, pengumpulan yang intimidatif, dan dampak sosial
yang sistemik. Fenomena ini bukan isapan jempol. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ) per
Desember 2023, terdarap lebih dari 18 juta pinjaman aktif di layanan fintech peer-t peer
lending ( pinjol ) dengan total pinjaman mencapai Rp 59,6 triliun. Meski terjadi sedikit penurunan jumlah pengguna disbanding tahun sebelumnya, nilai utang justru naik sekitar 16,7%
secara tahunan. Banyak dari para peminjam ini tidak memiliki literasi keuangan yang memadai dan tidak sedikit pula yang akhirnya terjerat pinjol illegal. Tidak hanya dari mereka yang tidak punya akses ke perbankan resmi. Laporan LBH Jakarta
menunjukan 1.944 pengadu pinjol antara tahun 2018-2024. Menariknya, 61% adalah
Perempuan usia produktif ( 20-50 tahun ). Direktur LBH bertanya mengapa perempuan lebih rentan? Banyak literasi keuangan yang belum menjangkau mereka. Dan bunga pinjol pembohong semakin memporak-pondakan kondisi ekonomi & psikologi.
Laporan Keuangan Konsumen OJK 2023 -- Bunga mencapai 0,8% per hari ( atau 292% per tahun ), jauh di atas ketentuan OJK maksimal 0,4% per hari Pinjaman yang telalu mudah di dapat -- Kemudahan adalah salah satu daya Tarik utama pinjol.
Tanpa agunan, tanpa bertemu langsung, hanya saja bermodal KTP dan ponsel bisa mendapatkan pinjaman dana dalam waktu kurang dari satu jam. Di satu sisi, kemudahan ini membantu mereka yang benar-benar membutuhkan dana cepat. Di