Lepas bermunajat di surau pinggiran, tersedia ruang hijau kosong. Kosong dari peluh kerumunan, tetapi penuh kemelankolisan. Berpikir sejenak, menenangkan otak yang haus istirahat. Begitu nyaman membayangkan memang, saat diri penuh topeng ini bisa menjadi seutuhnya. Menjadi diri sendiri, bebas dari rasa kaku, canggung, terpenjara, penuh kepalsuan. Â Mungkin, memang butuh waktu untuk merenung sendirian, bersembunyi di balik keramaian dunia.
Hanya aku, aspal dan langit saja, atau angin pun dipersilakan. Asal damai dan dilarang menghantarkan keriuhan. Burung terbang, kucing lari-larian, lebih pantas untuk pemanis mata dibanding derai berisik anak manusia.
Nafas ini bisa lega menghembus, pikiran ini juga mampu jernih berpikir, mengatakan apa saja, didengar oleh telinga sendiri, lalu? Bahagia.
Tak selamanya menenangkan jiwa dengan sendirian itu baik. Butuhlah, seseorang yang selalu bisa menghantarkan kenyamanan, tanpa sedikitpun rasa cemas dan kaku. Dia pun kemudian datang. Dia
yang mampu membawa nuansa berisik penuh riuh tawa, tetapi tetap indah dicerna jiwa. Dia yang bersedia menjadi pemanis mata, di saat pemandangan dunia hampir merobohkan asa. Seperti cermin yang dapat menyesuaikan segala keadaan, segala rasa, segala maksud hati.
Dia adalah cerminku, yang selalu bisa menyamai ketenangan diri ini. Dia adalah cerminku, yang selalu tulus berirama dengan kesejukan. Dia adalah cerminku, yang setia mengikutiku, hingga pecah, hinggaku mati.
***
Tanjung Priok, Juli 2018.
Naufal Ilham Muafi