Mohon tunggu...
Natri Sutanti
Natri Sutanti Mohon Tunggu... Pengajar

Hobi saya membaca, jalan-jalan dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Gaya Mengajar ASN Millennial Perlu Menjawab Tuntutan Zaman Digital

15 September 2022   06:00 Diperbarui: 16 September 2022   04:29 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dosen tamu memberikan materi pada mahasiswa.(KOMPAS.com/ALBERTUS ADIT) 

Pandemi Covid-19 telah membuat perubahan yang luar biasa. Bahkan banyak yang berasumsi bahwa generasi pelajar di masa pandemi mengalami kesenjangan yang tinggi dibandingkan dengan generasi sebelumnya dilihat dari berbagai hal.

Salah satunya karakter yang terbentuk yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Beberapa hal yang menarik yang ditemui selama pembelajaran hybrid yang mulai banyak dilakukan di berbagai universitas misalnya ada kecenderungan mahasiswa tidak siap dengan pembelajaran luring atau langsung, bahkan beberapa ada yang menyampaikan telah nyaman dengan pembelajaran daring atau online.

Beberapa kecenderungan yang muncul ketika kelas luring dimulai salah satunya adalah menghindari untuk duduk di depan. 

Kecenderungan ini sebenarnya tidak hanya terjadi saat ini saja, sejak dulu mahasiswa biasanya menghindari duduk di barisan paling depan. 

Namun yang membedakan sekarang adalah kecenderungan untuk menggunakan perangkat seluler saat pembelajaran di kelas yang menurut saya pribadi lebih intens dibandingkan mahasiswa beberapa tahun ke belakang. 

Bisa dibilang ini karena mahasiswa jaman sekarang adalah native digital yang tentu saja tidak pernah lepas dari penggunaan perangkat digital. Sehingga tampak wajar jika mereka pun dalam kelas masih sering mengintip smartphone-nya.

Sementara mereka yang bergabung secara daring atau online pun memiliki kecenderungan yang tidak kalah unik yaitu tidak menyalakan kamera dan cukup lama dalam merespons diskusi interaktif. Hal ini tentu saja bukan karena faktor tunggal. 

Jaringan yang kadang tidak stabil tidak jarang membentuk pola seolah-olah mahasiswa menjaga jarak dan tidak mau terlibat dalam perkuliahan, meskipun bisa jadi tidak begitu. Dalam melihat perubahan ini sebagai pengajar tentu saja perlu menyikapi dengan baik.

Saya pribadi melihat ini sebagai sebuah peluang untuk mengoptimalisasikan pembelajaran siswa melalui gawai mereka masing-masing dan memotivasi mereka untuk terlibat lebih banyak dalam pembelajaran yang interaktif. 

Beberapa masukan yang sering masuk tentang perkuliahan adalah harapan mahasiswa untuk mengikuti pembelajaran yang interaktif dan tidak melulu pada penjelasan dari dosen saja. Keterlibatan dalam pembahasan dan penyusunan materi bahkan merupakan hal yang sangat strategis dalam mendukung kurikulum yang sekarang berlaku yaitu Kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka atau lebih dikenal dengan MBKM.

Seperti banyak dimuat dalam berbagai berita dan sekaligus sosialisasi baik di media cetak atau online, adanya kurikulum ini telah membawa transformasi pembelajaran kuliah yang konvensional menjadi lebih adaptif dengan perubahan. Belajar yang tidak terbatas pada apa yang didapatkan di kelas saja, namun dapat diimbangi dengan pengalaman riil di dunia kerja melalui magang memang menjadi ciri khas dari kurikulum ini. 

Student-centred learning, di mana proses belajar berfokus pada siswa untuk membangun pengalaman langsung dalam belajar.

Beberapa hal yang menurut saya strategis untuk dikembangkan adalah pembentukan karakter pelajar mandiri dan bersahaja. Mengapa demikian? Fenomena yang saya amati di dunia kampus menunjukkan bahwa kecenderungan mahasiswa menjaga jarak dengan bidang keahlian yang dia tekuni. 

Artinya sebagian dari mereka teramati kurang merasa terlibat dan memiliki ilmu yang mereka pelajari. Beberapa dari mereka ada yang cenderung mengerjakan tugas dan belajar bukan untuk memenuhi kebutuhan rasa ingin tahu mereka tapi sekadar untuk menggugurkan tugas atau mendapatkan nilai untuk lulus. Hal ini biasanya berlaku pada mereka yang belum memiliki arah dan tujuan dari studi yang ditekuni.

Lebih lanjut, pola diskusi ilmiah pada beberapa diskusi di kelas yang pernah saya ikuti terlihat kurang luwes. Kenyamanan untuk bertanya masih belum terbangun dengan baik. Bahkan tidak jarang perdebatan ilmiah bisa beralih ke ranah permasalahan secara personal yang tidak jarang membuat salah satu atau kedua belah pihak justru akhirnya tidak lagi mau terlibat dalam diskusi. 

Atau, hal lain yang muncul adalah kecenderungan untuk menyimpan pertanyaan karena ada tendensi malu atau di-judge oleh orang lain. 

Dinamika psikologis dalam pembelajaran menjadi penting untuk diperhatikan sekaligus untuk mengarahkan pola perkuliahan yang lebih suportif dan interaktif.

Sejak beberapa bulan lalu, saya mulai mengenal dan mencoba memahami konsep SMART ASN dan sekaligus manajemen ASN melalui latihan dasar yang saya ikuti. 

Dari sana, saya mulai berpikir bahwa mengemban peran sebagai seorang pengajar di era digital saat ini adaptasi dan terobosan baru dalam pendekatan perkuliahan nampaknya menjadi hal yang sangat penting. 

Kurikulum MBKM yang sudah diimplementasikan secara langsung memberikan dorongan pada transformasi berpikir tentang pembelajaran yang lebih luas dan bebas akses. 

Sebagai ASN Kemendikbud Ristek, saya pikir momen ini menjadi sangat penting untuk mengimplementasikan kerangka kurikulum literasi digital yang meliputi digital skill, digital culture, digital ethics dan digital safety dalam ranah pengajaran. Meskipun saya yakin sejak dulu hal ini sudah mulai menjadi perhatian, sekarang implementasinya perlu diperkuat.

Digital skill, hal ini mampu mendorong tercapainya kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan selama era digital 4.0. 

Menurut Amin (2018) karakteristik yang menonjol dalam era tersebut adalah pemberdayaan strategis, pemasaran cerdas, kepekaan dalam melihat permintaan, perencanaan kolaboratif, perencanaan berbasis skenario, sistem pengadaan yang cerdas dan inovatif, analitik layanan, dan kecakapan dalam memprediksi. 

Hal-hal ini tentu saja membutuhkan dukungan kecakapan digital yang perlu dimiliki oleh pengajar dan sekaligus apa yang perlu dikembangkan pada mahasiswa. 

Usaha yang perlu dilakukan untuk dapat bertahan dalam gerusan era digital adalah dengan mengembangkan kemampuan analisis, critical thinking, familiar dengan teknologi, penyelesaian masalah yang efektif, leadership, inovasi dan kreativitas (Taneja, S. & Nayak, S., 2022).

Salah satu studi menarik yang dilakukan di Bangladesh terhadap para mahasiswa sarjana dan pascasarjana, menemukan bahwa sebenarnya mahasiswa telah menyadari perubahan pasar kerja dan mereka sudah berusaha menyesuaikan kemampuan yang perlu dimiliki sejak awal kuliah namun demikian mereka belum mempersiapkan berbagai tantangan yang akan ditemui di era industrial 4.0 (Islam, 2022). 

Hal ini mungkin juga tidak jauh berbeda dengan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu sebagai pengajar yang saya sebut sebagai ASN millennial nampaknya terobosan baru dalam memfasilitasi proses belajar diperlukan. Tiga hal yang mungkin dilakukan antara lain penyediaan bahan ajar yang luas, penugasan yang menekankan pada kreativitas dan kolaborasi, serta budaya diskusi akademis yang kritis dan santun.

Penyediaan bahan ajar yang luas nampaknya sudah tercapai dengan baik saat ini. Hanya saja budaya berliterasi digital yang nampaknya belum muncul secara signifikan. Mahasiswa perlu didorong untuk secara mandiri menemukan dan membaca berbagai sumber sebelum perkuliahan dimulai. 

Bahkan jika memungkinkan pembelajaran kelas hanyalah sebagai wadah diskusi ilmiah dari berbagai bacaannya telah mereka baca tidak lagi pengajar yang selalu memberikan penjelasan. 

Sebelum perkuliahan dimulai, bahan ajar sudah dibagikan dan mahasiswa diminta untuk membaca secara mandiri dan kemudian melakukan eksplorasi bahan ajar melalui smartphone yang mereka miliki. Sehingga, diskusi kelas lebih hidup dan interaktif karena masing-masing mahasiswa sudah memiliki bahan diskusi. Sayangnya, penerapan budaya berliterasi digital atau sering dikenal digital culture masih belum berkembang khususnya dari apa yang saya amati. 

Bahkan ketika materi pembelajaran telah di-sharing secara digital, namun mahasiswa masih belum terbiasa secara mandiri mengeksplorasi bahan yang diberikan. Hal inilah yang kemudian membuat saya berpikir bahwa pembiasaan dalam berliterasi menjadi bagian penting di masa sekarang.

Kedua, penugasan yang menekankan pada kreativitas dan kolaborasi. Saya sangat yakin bahwa para dosen saat ini telah mengarahkan pada penugasan yang lebih menekankan pada kreativitas dan kolaborasi antar mahasiswa misalnya dengan penugasan kelompok dan project bersama. 

Meskipun capaian yang diharapkan tentu saja berbeda-beda. Mahasiswa perlu didorong untuk memanfaatkan berbagai platform digital dan perangkat teknologi yang mereka miliki untuk mengembangkan ilmu yang mereka tekuni. Penugasan tidak terbatas pada pencapaian standar minimal kelulusan atau bahkan hanya sekadar untuk menggugurkan tugas. 

Rasa memiliki dan keinginan untuk mengembangkan diri penting dibangun dalam setiap penugasan yang diberikan. Hal ini tentu saja membutuhkan andil dari dosen sebagai mentor dalam mengembangkan sebuah tugas proyek tertentu. 

Hal yang paling penting ditekankan pada penugasan yang diberikan adalah untuk mencantumkan referensi atau sumber di mana tulisan atau media berupa gambar dan video itu diambil, mengingat hal ini kadang dilupakan. Hal ini dikenal sebagai digital ethics. 

Peningkatan kesadaran untuk menghargai karya orang lain dan juga menghindarkan diri dari plagiasi sangat penting agar mahasiswa mampu secara kreatif membuat penugasan versi dirinya sendiri. Salah satu hal yang mudah dilakukan dosen adalah memberikan contoh penerapan pencantuman referensi pada bahan ajar yang diberikan sekaligus terus mengingatkan mahasiswa untuk melakukan itu di setiap penugasan.

Yang terakhir adalah budaya diskusi akademis yang kritis dan santun. Apa yang saya amati selama ini menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki kecenderungan untuk malu bertanya ketika perkuliahan berlangsung. Banyak hal yang melatarbelakangi hal ini, salah satunya takut pada judgement yang diberikan kelas. 

Beberapa dari mereka bahkan ada yang merasa trauma untuk bertanya karena kadang merasa diserang oleh teman yang lain atau justru tidak mendapat jawaban yang sesuai ketika bertanya. Nampaknya hal ini sudah terjadi sejak lama dan sampai sekarang masih menjadi isu yang sering terjadi. 

Dampaknya, banyak dari mahasiswa mereka hanya diam ketika tidak mengetahui sesuatu. Namun kecanggihan teknologi saat ini sebenarnya bisa menjadi peluang yang baik. Artinya ketika mereka tidak bertanya di kelas namun akhirnya mencari referensi yang tepat itu adalah hal yang sangat baik. Ataupun pemanfaatan WA grup yang biasanya adalah untuk mahasiswa itu juga baik untuk menampung pertanyaan yang muncul dan tidak sempat ditanyakan di kelas.

Akan tetapi, jika hal ini terus terjadi maka diskusi ilmiah atau akademik di kelas justru tidak dapat berkembang. Bahkan kecenderungannya mahasiswa akan takut berpendapat di depan umum. 

Sebagai ASN millennial, kita dapat membangun budaya diskusi dengan memberikan apresiasi kecil kepada mereka yang mau berpendapat dan memberikan ruang terbuka atau undangan pada mereka yang mau bergabung. Penyiapan lingkungan belajar yang suportif dan mindset kelas yang tidak judgemental menjadi penting. 

Konsep tidak adanya yang benar dan salah dalam memberikan pendapat perlu selalu digaungkan agar mahasiswa yakin bahwa pertanyaannya itu penting dan pendapatnya itu berharga. Selain itu, kerahasiaan dalam diskusi forum ilmiah misalnya di e-learning atau diskusi WA pun perlu dijaga. 

Kemudahan untuk melakukan screenshot diskusi-diskusi kelas kadang bisa menimbulkan trauma dan kebocoran data pribadi. Padahal, keamanan data pribadi sekaligus kerahasiaan diskusi secara online menjadi hal yang wajib dijaga agar lingkungan yang suportif dapat terbangun. Hal ini menjadi pengejawantahan digital safety.

Edukasi lebih lanjut yang perlu diberikan kepada mahasiswa adalah bagaimana mereka perlu menghargai pendapat meskipun mereka berseberangan ide. Jangan sampai diskusi ilmiah berakhir menjadi sebuah pertengkaran dan isu personal.

Terlebih akhirnya membuat postingan yang kurang enak dibaca di media sosial atau menggunakan berbagai jejak digital untuk menyerang lawan diskusi di sosial media. Hal inilah yang perlu diantisipasi. 

Pengembangan dan pemberian contoh diskusi yang kritis dan tetap menjaga etika berkomunikasi yang baik nampaknya harus selalu menjadi patokan. Akhirnya, semua ini berkaitan dengan kerja sama antara mahasiswa, dosen dan sekaligus masyarakat bagaimana kita bersama-sama memberikan contoh yang baik dalam sebuah diskusi.

Gaya mengajar ASN millennial tentu saja akan menjadi jembatan untuk menjawab tantangan di era digital saat ini. Tidak hanya kecakapan secara digital yang wajib menjadi fokus namun pembiasaan, etika dan sekaligus pola keamanan dalam berselancar di dunia digital menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam peran sebagai dosen. 

Saya menyadari bahwa pengalaman yang saya miliki masih sangat jauh dibandingkan para praktisi di luar sana. 

Tulisan ini adalah sebagai sebuah refleksi dan opini dari apa yang saya amati dan alami. Pada intinya, semua orang menginginkan generasi muda saat ini berkembang dengan baik secara akademik kapabel dan secara etika bersahaja. 

Mari bersama-sama membangun bangsa.

REFERENSI

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun