Pengaruh media sosial terhadap persepsi remaja tentang gender sangat kompleks, di satu sisi memberi kesempatan edukasi dan pemberdayaan, di sisi lain terdapat risiko penyebaran misinformation dan stigma terhadap kelompok gender nonbiner dan LGBTQ.
Fungsi Sosiologi dalam Memahami Representasi Gender
Sosiologi memiliki fungsi penting dalam menganalisis, mengkritisi, dan memahami bagaimana representasi gender dalam media massa dibentuk dan dampaknya terhadap struktur sosial. Dengan pendekatan sosiologis, kita dapat menelaah hubungan antara media dengan norma sosial, budaya, dan kekuasaan.
Sosiologi membantu mengidentifikasi bagaimana media mengangkat dan memproduksi nilai-nilai patriarki yang menormalisasi ketidaksetaraan gender dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi sosiologi juga terletak pada kemampuannya mengkritisi praktik komunikasi media yang bias dan mendukung advokasi terhadap media yang lebih inklusif serta representatif.
Dalam konteks Indonesia, sosiologi berperan sebagai alat perubahan sosial dengan mendorong media massa untuk merefleksikan keberagaman gender serta menentang diskriminasi. Hal ini penting agar media tidak hanya menjadi cermin realitas yang ada, tetapi juga fasilitator kemajuan sosial dan kesetaraan.
Studi Kasus di Indonesia
Dalam studi kasus Indonesia, representasi gender di media massa menunjukkan pola-pola yang konsisten dengan stereotip yang memarginalkan perempuan:
Iklan Televisi: Penelitian menunjukkan perempuan sering tampil dalam peran domestik dan sebagai objek kecantikan. Mereka digambarkan lebih banyak dalam konteks konsumsi dan perawatan keluarga, sementara laki-laki digambarkan dalam peran pengambil keputusan dan pekerja publik. Pola ini memperkuat konstruksi sosial patriarki dan menyempitkan peran gender.
Pemberitaan Media: Laporan Tempo Institute menyatakan bahwa pemberitaan di media masih mengandung bias gender dengan dominasi narasumber laki-laki dan penggambaran perempuan yang terbatas pada isu sosial budaya. Kultur patriarki dalam redaksi turut memengaruhi cara pemberitaan, yang kemudian memperkuat sikap publik yang androcentrik.
Media Sosial: Meskipun media sosial memberikan ruang bagi suara perempuan dan kelompok minoritas gender, kehadiran konten yang negatif dan stigma terhadap gender nonbiner serta LGBTQ masih signifikan. Interaksi di media sosial menjadi arena penting untuk dialog kesetaraan, namun juga sarana reproduksi diskriminasi budaya patriarki.
Persepsi Remaja: Studi kualitatif mengungkap bahwa remaja terutama di perkotaan mulai menunjukkan kesadaran lebih tinggi terhadap isu kesetaraan gender, dipengaruhi oleh konten media sosial yang membahas gender dan identitas. Namun, perlunya edukasi yang lebih sistematis dan inklusif tetap menjadi kebutuhan.