Pembangunan infrastruktur Indonesia telah lama diidentifikasi sebagai bidang penting bagi pertumbuhan ekonomi dan daya saing regional. Infrastruktur yang tidak memadai secara historis telah menghambat produktivitas ekonomi, meningkatkan biaya logistik, dan konektivitas yang terbatas di negara berkembang ini. Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, Presiden Joko Widodo memulai agenda pembangunan infrastruktur yang komprehensif setelah dilantik pada tahun 2014. Proyek kereta api berkecepatan tinggi (High Speed Railway) yang menghubungkan Jakarta dan Bandung buah kerjasama Indonesia dan China menonjol sebagai inisiatif utama dalam agenda ini.
Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung terus menuai polemik. Bahkan, kontroversi proyek ini sudah menyeruak sejak perencanaan di tahun 2015 silam. Proyek Kereta cepat Jakarta Bandung merupakan proyek prestisius yang menghubungkan dua kota besar di Pulau Jawa dengan jarak sekitar 142 kilometer. Proyek ini direncanakan dapat mengurangi waktu tempuh antara Jakarta dan Bandung dari sekitar 3 jam menjadi hanya 40 menit, dengan kecepatan operasional mencapai 350 km/jam. Proyek ini awalnya diperkirakan membutuhkan investasi sekitar USD 5,9 miliar, namun dalam perkembangannya mengalami kenaikan biaya menjadi sekitar USD 7,36 miliar. Di mana pemerintah Indonesia rencananya akan menutup kekurangan melalui dana APBN agar tidak mangkrak. Menurut Bank Dunia, investasi dalam infrastruktur transportasi dapat menghasilkan manfaat ekonomi jangka panjang yang signifikan, termasuk peningkatan pertumbuhan PDB, pengurangan kemacetan, dan peningkatan efisiensi perdagangan.
Gagasan tentang kereta cepat di Indonesia sebenarnya telah muncul sejak tahun 2008, dengan studi kelayakan yang dilakukan oleh Jepang pada tahun 2011. Negara itu menawarkan proposal pembangunan ke pemerintah Jokowi melalui Japan International Cooperation Agency (JICA). JICA bahkan rela menggelontorkan modal sebesar USD 3,5 juta sejak 2014 untuk mendanai studi kelayakan. Nilai investasi kereta cepat berdasarkan hitungan Jepang mencapai USD 6,2 miliar, di mana 75% dibiayai oleh Jepang berupa pinjaman bertenor 40 tahun dengan bunga 0,1 persen per tahun.
Namun pada tahun 2015, Indonesia memutuskan untuk menerima tawaran dari China yang dinilai lebih menguntungkan karena tidak memerlukan jaminan pemerintah (sovereign guarantee). Seiring berjalannya proyek, kondisi ini berubah dan Indonesia akhirnya memberikan jaminan pemerintah untuk pinjaman dari China Development Bank (CDB)
Proyek ini dijalankan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), sebuah konsorsium yang terdiri dari empat BUMN Indonesia (PT Wijaya Karya, PT Kereta Api Indonesia, PT Jasa Marga, dan PT Perkebunan Nusantara VIII) dengan kepemilikan 60%, serta beberapa perusahaan China yang tergabung dalam China Railway International Co. Ltd dengan kepemilikan 40%.
Meskipun awalnya direncanakan selesai pada tahun 2019, proyek ini mengalami beberapa kali penundaan karena berbagai tantangan, termasuk masalah pembebasan lahan, kompleksitas teknis, dan dampak pandemi COVID-19. Kereta Cepat Jakarta-Bandung akhirnya diresmikan dan mulai beroperasi pada Oktober 2023, menandai pencapaian penting dalam hubungan ekonomi Indonesia-China.
Proyek ini juga penting dalam konteks kemitraan strategis Indonesia. Keterlibatan China melalui Belt and Road Initiative (BRI) mencerminkan kepentingan bersama kedua negara dalam mendorong kolaborasi ekonomi. Dengan memilih tawaran China dari pada Jepang, Indonesia memanfaatkan persyaratan keuangan yang menarik, termasuk pinjaman berbunga rendah dan komitmen untuk transfer teknologi, yang dianggap lebih menguntungkan untuk tujuan pembangunannya. Keputusan ini menggaris bawahi pendekatan pragmatis pemerintahan Jokowi dalam menavigasi aliansi ekonomi dan politik global. Inisiatif ini sejalan dengan Belt and Road Initiative (BRI) China, yang bertujuan untuk meningkatkan konektivitas dan mendorong kerja sama ekonomi di Asia dan sekitarnya. Kolaborasi antara Indonesia dan China dalam konteks ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kritis mengenai kepentingan nasional, manfaat ekonomi, dan konsekuensi geopolitik dari kemitraan tersebut. Signifikansi proyek kereta api cepat lebih dari sekadar perbaikan transportasi, proyek ini mewujudkan aspirasi Indonesia untuk pertumbuhan ekonomi, integrasi regional, dan kemajuan teknologi.
Indonesia dan China memiliki struktur ekonomi yang berbeda namun saling melengkapi. Indonesia kaya akan sumber daya alam dan memiliki pasar domestik yang besar, sementara China memiliki keunggulan dalam teknologi, modal, dan pengalaman dalam pembangunan infrastruktur transportasi berkecepatan tinggi. Kerja sama dalam proyek Kereta cepat Jakarta-Bandung mencerminkan bagaimana kedua negara memanfaatkan keunggulan komparatifnya dengan China menyediakan teknologi dan sebagian pendanaan, sementara Indonesia menyediakan pasar dan sumber daya lokal. Proyek ini meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia dengan memperkenalkan teknologi transportasi modern yang dapat mempercepat mobilitas manusia dan barang. Peningkatan efisiensi transportasi antara Jakarta dan Bandung diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di koridor tersebut, menciptakan apa yang ekonom Michael Porter sebut sebagai "cluster ekonomi" yang meningkatkan produktivitas.
Permasalahan Kelebihan Biaya
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung ini mulanya diperkirakan menelan biaya Rp86,67 triliun. Tapi belakangan terjadi pembengkakan atau cost overrun (kelebihan biaya) hingga sekitar US$7,27 miliar, setara Rp112 triliun. Komposisi pembiayaan proyek ini adalah 75% berasal dari pinjaman melalui China Development Bank (CDB) dan sisanya merupakan setoran modal dari konsorsium dua negara yaitu Indonesia-China.
Pembagiannya, konsorsium BUMN Indonesia menyumbang 60% dan 40% berasal dari konsorsium China. Total pinjaman Indonesia ke China Development Bank (CDB) mencapai Rp8,3 triliun. Utang itu akan dipakai untuk pembiayaan pembengkakan biaya kereta cepat. Bunga yang ditawarkan oleh China adalah 3,4% per tahun dengan tenor selama 30 tahun. Proyek ini juga telah mendapat suntikan APBN dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp7,3 triliun. Para pengamat ekonomi menilai Indonesia bakal kesulitan membayar utang tersebut, karena prospek bisnis pengoperasian kereta cepat belum tentu menguntungkan, sehingga akhirnya mengandalkan APBN.
Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengatakan penjaminan APBN bisa dilakukan. Itu tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 dan juga dalam aturan pelaksananya, yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 89 Tahun 2023. Dalam perpres itu disebutkan jika terjadi pembengkakan biaya, pembiayaan dari APBN bisa berupa penyertaan modal negara dan/atau penjaminan kewajiban pimpinan konsorsium BUMN, dalam hal ini PT Kereta Api Indonesia (PT KAI).