Fenomena anak punk sudah bukan rahasia lagi, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya. Komunitas punk adalah sekelompok anak muda yang kehidupannya mengutamakan kehidupan yang bebas, namun bertanggung jawab atas kelangsungan hidup mereka sendiri karena ingin hidup bebas dan tanpa beban pikiran yang berat membebani mereka. Punk merupakan salah satu kelompok sosial yang memiliki ciri khusus dalam pandangan hidupnya. (Hardiansyah, 2011) Terlepas dari sejarah panjang dan latar belakang anak-anak punk, mereka mengenali diri mereka sendiri dari cara berpakaian, gaya rambut, nada bicara, tato, lagu, dll. Mereka jarang mengkritik dengan lirik yang mereka tulis sendiri, bahkan bisa dibilang anak punk punya keberanian untuk mengekspresikan diri. Punk memiliki tingkat kebebasan yang diindoktrinasi dengan sangat kuat dalam pikiran mereka. Yang benar adalah bahwa punk adalah seni. Mereka memaknai punk sebagai alat solidaritas, media emosional, media ekspresif, dan media kebebasan. Dulu mereka merasa bahwa punk adalah rumah baru ketika rumah sungguhan tidak bisa dijadikan tempat berlindung, namun terkadang mereka juga memiliki keinginan untuk hidup lebih baik dan normal yang biasanya dianggap normal oleh masyarakat.Â
Kenyataannya, masyarakat Indonesia masih belum menerima punk. Asumsi dan stigmatisasi tentang keberadaan komunitas punk di jalanan dipandang sebagai sampah masyarakat yang mengganggu visualisasi tata kota. Argumentasi bahwa pendidikan karakter tidak ditanamkan pada anak dibuat karena lahirnya anak punk. Punk dianggap sebagai anomali sosial. Masyarakat melihat punk sebagai anak muda yang nakal, penuh energi negatif, pecandu narkoba, pemabuk, preman dan amoral. Anak punk dianggap seperti anak yang tidak mengikuti aturan, berperilaku buruk satu sama lain, dan mengganggu. Pandangan ini kemudian menggeneralisasi keberadaan punk di kota-kota besar, menyatakan bahwa semua prinsip punk adalah sama. Menurut stigma tersebut, ada beberapa faktor internal yang mendorong mereka hidup dalam kondisi jalanan yang keras. Panca Martha Handayani dan Kris Hendrijanto, dalam jurnalnya Motivasi Anak Memilih Anggota Komunitas Punk menjelaskan bahwa perasaan kecewa, keinginan akan kasih sayang dan perhatian, serta kurangnya kasih sayang orang tua merupakan hal yang memotivasi anak muda untuk bergabung dengan punk.Â
Menyikapi fenomena komunitas punk jalanan yang semakin berkembang, baik pemerintah maupun para relawan berupaya untuk menggalakkan dan memberdayakannya di berbagai daerah. Anak punk sama seperti kita, satu-satunya perbedaan yang menonjol adalah gaya pakaian dan gaya hidup. Anak punk ingin bekerja, bahkan ingin menikah. Ironisnya, masyarakat menutup mata terhadap aspirasi mereka. Minimnya pekerjaan yang diambil oleh anak punk, berbagai alasan seperti takut kehilangan konsumen, pikiran negatif bahwa mereka mencuri barang, dan alasan lain yang tidak mungkin terjadi menjadi pertimbangan serius. Di samping itu, mulai bermunculan secara perlahan pihak-pihak yang memerhatikan keberadaan mereka. Mereka diberdayakan dengan keterampilan tertentu hingga diajarkan ilmu dan adab dari perspektif agama. Meski awalnya membutuhkan pendekatan yang kompleks, komunitas punk segera membutuhkan manajemen yang tepat. Langkah yang paling penting dan mendasar untuk mengatasi maraknya penyebaran anak punk di jalanan adalah memperkuat faktor sosialisasi yang pertama, yaitu keluarga. Kebanyakan anak punk memiliki masalah dalam keluarga mereka. Upaya preventif yang baik untuk menyosialisasikan orang tua merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah dan stake holder untuk mengendalikan penyebaran anak punk di jalanan. Punk adalah tanda bahwa pemerintah gagal dalam memberdayakan masyarakat, khususnya di bidang ekonomi. Punk masih berusaha bertahan hingga saat ini. Mereka bertahan di antara hinaan sosial, protes sosial terhadap penyimpangan politik, berekspresi seni dan bertahan di antara berbagai persoalan internal yang mereka hadapi. Â