Mohon tunggu...
Nastiti Cahyaningtyas
Nastiti Cahyaningtyas Mohon Tunggu... Mahasiswa

Nastiti Cahyaningtyas, atau akrab disapa Naca. Seorang mahasiswa yang menikmati waktu luangnya dengan membaca buku dan menonton film.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Hidup Bersama Sang Raksasa: Menjadi Suara untuk yang Tak Bisa Bicara

2 Oktober 2025   20:20 Diperbarui: 2 Oktober 2025   20:17 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

    Tahukah kamu? Bahwa gajah memiliki sejarah yang sangat Panjang dan tragis. Pada zaman dahulu gajah sering ditangkap untuk dijinakan dan digunakan sebagai pasukan perang dan alat bantu pemanenan kayu, fakta yang menyedihkan bahwa suara Sang Raksasa sudah tidak terdengar sejak lama. Sejarah tragis ini membuktikan sedari dulu manusia hanya memandang gajah sebagai alat bukan makhluk hidup yang setara untuk hidup bersama.

    Menyadari berbagai fakta tragis berdasarkan sejarah panjang ini, inisiatif masyarakat harus lebih dibangkitkan. Agar gajah bisa dilihat sebagai makhluk hidup yang layak dan setara untuk suaranya dapat kita dengarkan, tidak hanya sebagai objek menguntungkan untuk ditangkap dan dihilangkan. Karena sayangnya, pada realita bukannya lebih didengar, gajah hanya sekedar alih fungsi yang tadinya ‘alat perang’ menjadi ‘korban pembangunan’.

    Tak kenal maka tak sayang, sebelum kita mengulik lebih jauh mari mengenal lebih dekat tentang teman raksasa kita satu ini. Gajah dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu gajah afrika dan gajah asia. Diluar sana gajah memiliki sejuta sebutan—objek untuk disembah, target pemburuan, pengganggu manusia, alat perang, dll. Lebih dari banyak sebutan itu, gajah memiliki fakta unik yaitu merupakan hewan yang memiliki kepekaan dan perilakunya didasari oleh lingkungan.

    Setelah menganal lebih dekat, sekarang kita bahas, apa sih penyebab adanya konflik antara manusia dan teman raksasa kita? Penyebab utama konflik antara manusia dan gajah adalah alih fungsi lahan. Hutan, yang merupakan habitat alami gajah, kini banyak diubah menjadi perkebunan, area pertambangan, dan pemukiman. Hilangnya hutan ini membuat gajah kehilangan sumber makanan dan tempat tinggal, sehingga mereka terpaksa masuk ke wilayah manusia. Akibatnya, gajah sering kali dianggap sebagai hama yang merusak tanaman atau ancaman yang membahayakan nyawa. Konflik ini tidak hanya merugikan gajah, tetapi juga berdampak buruk bagi manusia, menyebabkan kerusakan properti, kerugian ekonomi, hingga korban jiwa.

    Konflik-konflik antara manusia dan gajah ini memicu manusia berpikir bahwa gajah merupakan makhluk yang menyeramkan, bukan makhluk aman untuk bisa hidup berdampingan. Padahal seharusnya, dengan adanya konflik-konflik tersebut kita sadar ini adalah peringatan. Dengan memahami akar masalahnya bahwa gajah hanya mencoba bertahan hidup di tengah hilangnya habitat mereka, kita bisa mencari solusi yang lebih bijak, seperti mengembalikan fungsi hutan dan mengedukasi masyarakat agar bisa hidup lebih harmonis dengan Sang Raksasa. Ini adalah tanggung jawab kita untuk menciptakan keseimbangan, sehingga baik manusia maupun gajah bisa hidup dengan aman dan lestari.

     Untuk mewujudukan tanggung jawab, kita tahu bahwa kita tidak bisa hanya pasrah. Ada banyak upaya mitigasi yang dilakukan untuk menjaga jarak aman antara gajah dan pemukiman, tanpa harus melukai mereka. Salah satunya adalah Flying Squad, tim khusus yang menggunakan gajah terlatih untuk menggiring gajah liar kembali ke habitatnya. Selain itu, ada solusi kreatif seperti pagar cabai—gajah tidak suka bau pedas, jadi pagar dari larutan cabai bisa efektif mencegah mereka masuk ke kebun petani. Tentu saja, solusi jangka panjang yang paling penting adalah membuat koridor satwa, yaitu jalur aman yang menghubungkan fragmen-fragmen hutan. Dengan koridor ini, gajah bisa bergerak bebas mencari makan tanpa harus 'mampir' ke desa atau permukiman masyarakat.

    Namun, upaya ini tidak akan berhasil jika hanya dilakukan oleh pihak-pihak tertentu saja. Peran kita sebagai masyarakat lokal sangat krusial, lho! Edukasi komunitas merupakan salah satu kunci agar masyarakat umum tahu cara merespons gajah dengan benar misalnya, tidak panik atau menyerang dan bagaimana sistem peringatan dini bekerja. Untungnya, kini sudah banyak kolaborasi yang terjalin. Pemerintah, NGO, hingga akademisi bekerja sama, berbagi data, dan mengembangkan teknologi untuk memantau pergerakan gajah. Jadi, membangun harmoni dan koeksistensi ini bukan lagi sekadar impian, tapi proyek bersama yang melibatkan kita semua. Tujuannya sederhana: agar Sang Raksasa bisa hidup damai, dan suaranya bisa didengar.

    Memiliki suara adalah anugerah, dan kini saatnya kita menggunakannya untuk hal yang penting yaitu menjadi suara bagi satwa yang tak bisa bicara. Itulah esensi dari advokasi dan edukasi publik. Kita bisa memulai dari hal-hal kecil, seperti mengedukasi teman atau keluarga tentang pentingnya menjaga habitat gajah, hingga hal yang lebih besar, seperti bergabung dengan gerakan-gerakan komunitas peduli satwa. Peran media, baik konvensional maupun digital, sangatlah vital. Melalui kampanye digital, pesan tentang pelestarian satwa bisa tersebar luas, menyentuh hati banyak orang dan mendorong mereka untuk peduli. Ini bukan lagi sekadar tugas pemerintah atau aktivis, tapi panggilan untuk kita semua. Dengan mengambil peran aktif, baik lewat donasi, kampanye di media sosial, atau sekadar menyebarkan informasi, kita semua bisa menjadi bagian dari solusi untuk memastikan bahwa generasi mendatang juga bisa menikmati keberadaan Sang Raksasa di bumi.

    Melihat semua upaya dan tantangan yang ada, kita perlu merenungkan kembali hubungan kita dengan alam. Gajah bukanlah musuh yang harus disingkirkan, melainkan cerminan dari bagaimana kita memperlakukan lingkungan. Mereka adalah korban dari pembangunan yang mengabaikan keseimbangan ekosistem. Oleh karena itu, harapan untuk masa depan bukan hanya tentang menyelamatkan gajah, tetapi juga tentang menciptakan koeksistensi yang berkelanjutan, di mana manusia bisa hidup maju tanpa merusak rumah bagi makhluk lain. Pada akhirnya, kita semua berada di planet yang sama. Seperti kata pepatah yang relevan, "Jika kita bisa hidup berdampingan, kita bisa bertahan bersama." Ini adalah ajakan untuk bertindak, bukan hanya demi gajah, melainkan demi masa depan kita sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun