Bagaimana agar produk sampai ke tangan konsumen secara efisien dan memuaskan? Itulah yang selalu menjadi fokus utama para retailer. Manajemen logistik menjadi solusinya. Untuk mencapai tujuan ini, Retailer membangun Gudang Induk dan Gerai yang menyebar hingga ke pelosok.
Proses logistiknya, Suplier mengirimkan barang ke gudang induk, lalu dikirimkan ke gerai di sejumlah daerah hingga ke desa-desa. Dengan alasan kecepatan dan kadaluarsa, banyak suplier yang langsung mengirimkan langsung ke Gerai. Lalu apa efeknya terhadap kewajiban perpajakan?
Definisi penyerahan versi pajak inilah yang menimbulkan efek perpajakan dalam manajemen logistik. Setiap penyerahan di kenakan PPN. Pengiriman barang dari lokasi Gudang Pusat ke Gerai atau sebaliknya, Gerai ke Gerai, Gudang Induk ke Gudang Induk lainnya dianggap sebagai penyerahan sehingga terhutang PPN. Inilah masalahnya.
Padahal secara akuntansi pengiriman ini dianggap sebagai mutasi persediaan saja, sehingga total penyerahan versi pajak dengan penjualan akan berbeda. Perbedaan ini membutuhkan rekonsiliasi antara pajak dan akuntansi. Juga meribetkan administrasi karena harus membuat faktur pajak dan bisa menggerogoti cashflow para retailer. Bagaimana solusinya?
Operasional  perusahan dikendalikan oleh kantor pusat. Agar proses logistik ini tidak dianggap penyerahan dan terutang PPN, maka Retailer harus melakukan sentralisasi PPN ke kantor pusat melalui KPP. Seluruh lokasi Gudang Induk dan Gerai didaftarkan dalam proses sentralisasi PPN ini.
Dengan sentralisasi PPN ini, maka setiap lokasi Gudang Induk dan Gerai tidak lagi memiliki nomor PKP sendiri-sendiri, tetapi menggunakan satu nomor PKP yaitu PKP Kantor Pusat.
Sentralisasi ini membuat perusahaan mudah dalam proses rekonsiliasi penyerahan versi pajak dengan penjualan versi akuntansi. Cashflow bisa dihemat karena tidak ada kurang bayar pajak karena proses logistik internal. Juga, penghematan dari sisi biaya operasional untuk mengurus proses administrasi perpajakannya.