Mohon tunggu...
Nasrul Hasim (ARUL)
Nasrul Hasim (ARUL) Mohon Tunggu... Mahasiswa UIN SUNAN KALIJAGA

Penulis realita pemula yang menekuni dunia literasi di dunia maya

Selanjutnya

Tutup

Diary

Cerita Manis di Waktu Berbuka Puasa: Kisah Kehangatan dan Kenangan bersamamu

31 Maret 2025   20:58 Diperbarui: 31 Maret 2025   20:58 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap hari di bulan Ramadan selalu menyimpan cerita yang berbeda, penuh makna dan kehangatan yang sulit dilupakan. Di balik seharian penuh pengorbanan, momen berbuka puasa hadir sebagai penyelamat yang tidak hanya mengobati rasa lapar, tetapi juga menghangatkan hati dengan kenangan manis. Cerita ini mengisahkan tentang momen berbuka puasa di sebuah rumah sederhana, di mana tradisi dan keakraban keluarga berpadu dalam setiap gigitan manis.

Di sebuah sore yang mulai merona, langit menggantungkan warna oranye keemasan sebagai pertanda waktu maghrib mendekat. Di rumah yang sederhana namun penuh kehangatan, ibu telah menyiapkan segala sesuatu dengan cermat. Setiap sudut dapur tampak sibuk, aroma masakan khas Ramadan mulai memenuhi udara, dan yang paling istimewa adalah piring kecil berisi kurma yang tersusun rapi di meja makan. Aku masih ingat bagaimana setiap hari menjelang berbuka, mata kecilku selalu menatap piring itu dengan penuh harap, seolah menunggu keajaiban kecil yang akan segera terjadi.

Begitu adzan maghrib berkumandang, seolah waktu sejenak berhenti. Ayah, ibu, dan adik-adikku berkumpul di ruang makan, wajah-wajah mereka berseri-seri menantikan momen berbuka. Ibu dengan lembut berkata, "Mari buka puasa dengan kurma, seperti sunnah Rasulullah." Suara ibu yang penuh kasih itu selalu membawa nuansa sakral, seakan setiap butir kurma membawa berkah dan keajaiban tersendiri.

Dengan hati berdebar, aku mengambil satu butir kurma. Saat gigitanku pertama menyentuh kurma yang lembut dan manis, seketika rasanya seperti disiram oleh kehangatan dan kebahagiaan yang mendalam. Rasa manis alami kurma itu bagaikan pelipur lara setelah seharian menahan lapar. Di detik itulah aku belajar bahwa kelezatan bukan hanya diukur dari rasa, melainkan juga dari makna di balik setiap momen yang kita jalani.

Tak hanya kurma, ibu juga sering menyiapkan hidangan pendamping yang tak kalah istimewa. Kolak pisang dengan kuah santan yang kental, ubi manis, dan kue-kue tradisional yang dibuat dengan penuh cinta menghiasi meja berbuka. Aroma manis dari kolak yang mendidih dan harum santan seakan mengajak kami untuk larut dalam kenangan masa kecil. Setiap suapan bukan sekadar mengisi perut, tetapi juga menyatukan cerita dan tawa yang telah menjadi bagian dari keluarga kami selama bertahun-tahun.

Setelah berbuka, biasanya kami melanjutkan dengan sholat maghrib bersama. Suasana menjadi semakin khusyuk ketika kami menundukkan kepala dalam doa, mensyukuri setiap nikmat yang telah diberikan. Rasanya, setiap momen itu adalah bukti nyata bahwa hidup ini penuh berkah, terutama ketika kita bisa berbagi kebahagiaan dengan orang-orang terdekat.

Aku masih teringat jelas, saat kecil, betapa serunya momen itu. Di ruang makan yang sederhana, di tengah tawa dan canda, kami duduk bersama seolah tak ada kekhawatiran di dunia. Ayah kerap menceritakan kisah-kisah masa mudanya, bagaimana ia merasakan manisnya berbuka puasa di kampung halaman yang jauh, dengan keluarga besar yang berkumpul di bawah terik matahari yang perlahan meredup. Cerita-cerita itu selalu membuatku terpesona dan merasa bangga akan tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.

Waktu berbuka tidak hanya tentang mengobati rasa lapar, tetapi juga tentang mengisi hati dengan harapan dan rasa syukur. Di setiap butir kurma, ada pesan untuk selalu bersyukur atas apa yang kita miliki. Meskipun hidup sering kali penuh dengan tantangan dan keterbatasan, momen berbuka mengingatkan bahwa keindahan bisa ditemukan dalam kesederhanaan. Kelembutan kurma dan manisnya kolak seolah mengajarkan bahwa setiap pengorbanan akan terbayar dengan kebahagiaan yang sederhana namun mendalam.

Di sela-sela obrolan keluarga, aku belajar bahwa kebahagiaan tidak selalu harus datang dari kemewahan. Sebuah meja makan sederhana, dihiasi dengan hidangan khas berbuka, sudah cukup untuk menyatukan hati dan menciptakan kenangan yang abadi. Aku menyadari bahwa tradisi berbuka puasa dengan makanan yang manis bukan hanya soal rasa, melainkan juga tentang nilai-nilai kebersamaan dan cinta kasih. Setiap senyum, setiap cerita, dan setiap tawa yang terukir di meja makan adalah harta karun yang tak ternilai.

Setelah waktu berbuka usai, sering kali kami meluangkan waktu untuk duduk bersama di halaman rumah. Di sana, di bawah langit malam yang bertabur bintang, kami berbincang tentang hari-hari yang telah dilalui, harapan untuk esok hari, dan doa-doa untuk keluarga serta orang-orang yang kami cintai. Angin malam yang sejuk dan cahayanya yang lembut menambah keindahan momen tersebut, mengingatkan bahwa setiap hari, betapapun sederhana, selalu ada keajaiban yang menanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun