Mohon tunggu...
M. Nasir
M. Nasir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Lingkungan Hidup

Hak Atas Lingkungan merupakan Hak Asasi Manusia. Tidak ada alasan pembenaran untuk merampas/menghilangkan/mengurangi hak tersebut.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tabrani Yunis Kompasianer Senior Dua Dunia

21 November 2023   17:03 Diperbarui: 21 November 2023   17:04 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ngopi bersama Kompasianer Tabrani Yunis di Warung Cut Ayah, Banda Aceh 

Bagi Kompasianer tentunya tidak asing dengan Kompasianer yang satu ini, yaitu Tabrani Yunis. Beliau adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE). Secara statistik di Kompasiana, beliau telah menulis 728 artikel, memiliki 487.701 pembaca, sebanyak 68 kali tulisan beliau menjadi headline, sebanyak 1.068 followers, dan saat ini berada di level Penjelajah dengan 13.313 poin.

Screenshot profil Tabrani Yunis di Platform Kompasiana
Screenshot profil Tabrani Yunis di Platform Kompasiana

Saya masih level debutan di Kompasiana, tentunya harus hormat kepada beliau. Banyak ilmu dan pengalaman yang harus saya belajar dari beliau, khususnya perihal menulis di Kompasiana.

Bagi saya, beliau adalah senior dua dunia. Kenapa? Karena selain senior di Kompasiana, beliau juga senior saya di gerakan Masyarakat Sipil di Aceh (LSM) khusus gerakan lingkungan hidup di Aceh.

Beberapa kali agenda ngopi dengan beliau sempat batal, namun hari ini agenda ngopi bareng terwujud. Tepatnya di warung Cut Ayah di jalan Pango, Banda Aceh.

Beliau memilih minum teh jahe, sedangkan saya tetap seperti biasa yaitu Kopi Pancong (kopi setengah gelas). Banyak hal kami bercerita, yang pasti seputar dunia menulis.

Screenshot statistik Kompasianer Tabrani Yunis di Platform Kompasiana 
Screenshot statistik Kompasianer Tabrani Yunis di Platform Kompasiana 

Selain menjadi kompasianer, beliau juga memiliki media online yaitu Potret Online yang fokus pada isu pendidikan, perempuan dan anak. Cukup banyak gagasan dan pemikiran yang beliau rangkum dalam berbagai tulisan.

Perkenalan saya dengan beliau terajut sekitar tahun 2015. Ketika itu saya baru bergabung di lembaga advokasi lingkungan hidup tertua di Indonesia, yaitu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh. Kebetulan lembaga CCDE yang beliau pimpin merupakan lembaga anggota WALHI Aceh sampai hari ini.

Sejak itu beliau sering mengajak saya untuk menulis di Kompasiana. Kebetulan ketika itu saya mengelola blog pribadi, takutnya tidak konsen, akhirnya baru di pertengahan November 2023 saya menjadi Kompasianer.

Bagi beliau "menulis adalah mengekspresikan pikiran dan gagasan". Benar! Saya juga mengemban semangat itu dalam menulis. Banyak hal yang kita dengar, kita lihat, dan rasakan. Ketika semua itu tidak kita rekam dalam bentuk tulisan, maka pengetahuan tersebut hanya kita sendiri yang nikmati. Beda halnya ketika pengetahuan itu kita bagi dalam bentuk tulisan, maka pengalaman yang sama juga akan dinikmati atau menjadi pembelajaran bagi yang lain.

Jika pengetahuan itu bersifat positif dan bermanfaat jangka panjang, tentunya akan menjadi amal jariyah yang dapat kita bawa sampai mati. Atau setidaknya, generasi anak cucu kita akan tahu betul bagaimana kiprah, pemikiran, dan sepak terjang kita masa hidup. Bukankah itu akan menjadi sejarah bagi mereka?

Bagi saya menulis adalah merekam sejarah. Ketika kita bukan terlahir dari keluarga ternama, maka tugas kitalah untuk membuat anak cucu kita punya nama.

Saya banyak teman-teman yang berprofesi sebagai penulis, dan bagi mereka cara belajar menulis yang baik adalah dengan cara menulis. Tanpa menulis maka pengetahuan untuk menulis tidak pernah ada.

Banyak orang yang punya niat untuk menulis, namun niat itu urung ketika "mati" ide untuk memulai dari mana. Saya juga sering mengalami kondisi itu. Trik yang saya pakai adalah mencari objek foto/gambar, kemudian memulai menulis dengan menceritakan atau profiling foto/gambar tersebut.

Pernah suatu ketika sekitar tahun 2017, Kompasianer Tabrani Yunis menantang saya untuk memprofiling selembar tisu putih, saya terima tantangan itu. Saya mulai dari menceritakan tentang tisu, jenis ukuran, beragam merek, fungsi tisu, bahan baku pembuatan tisu, dampak penggunaan berlebihan terhadap tisu, kalangan usia pengguna tisu, dimana tisu dapat dibeli, berapa harganya, perusahaan apa yang memproduksi, dan betul - betul saya "telanjangi" tisu hari itu. Akhirnya saya mampu menulis tentang selembar tisu lebih 1000 karakter.

Sekitar jam 15:00 kamipun membubarkan diri dari warung Cut Ayah, kembali ke kesibukan masing-masing, saya kembali ke WALHI Aceh dan beliau kembali ke Potret Galery. Warung Kopi Cut Ayah menyajikan kopi dan makanan khas kampung, misalnya kacang rebus, ketela rebus, pisang rebus, dan banyak sajian menu kampung lainnya. Tidak ada salahnya bagi Kompasianer ketika ke Banda Aceh untuk singgah di Warung Kopi Cut Ayah.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun