Mohon tunggu...
M. Nasir
M. Nasir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Lingkungan Hidup

Hak Atas Lingkungan merupakan Hak Asasi Manusia. Tidak ada alasan pembenaran untuk merampas/menghilangkan/mengurangi hak tersebut.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Solusi Konflik Poemeurah di Aceh

18 November 2023   17:04 Diperbarui: 20 November 2023   14:53 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekumpulan gajah liar yang masih ditemukan di ekosistem Suaka Margsasatwa Balai Raja, Duri, Bengkalis Riau. Gajah-gajah itu mengembara dari kebun sawit ke kebun sawit warga yang merupakan lahan perambahan SM Balai Raja. Foto: KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI

Kenapa konflik tersebut bertahan dan sulit diselesaikan? Karena ada kesamaan kebutuhan diantara Gajah dan Manusia. Bagi gajah kebutuhan terkait ketersediaan pakan, sedangkan bagi manusia kebutuhan ruang untuk lahan pertanian dan perkebunan. Komoditas yang dibudidayakan oleh manusia merupakan jenis tanaman yang disukai oleh Gajah, sebaliknya lahan pertanian dan perkebunan masyarakat berada dalam koridor Gajah.

Anak anak (Syauka dan Jibran) bermain dengan Gajah di CRU Sampoiniet Aceh Jaya (sumber: M. Nasir)
Anak anak (Syauka dan Jibran) bermain dengan Gajah di CRU Sampoiniet Aceh Jaya (sumber: M. Nasir)

Dari beragam masalah dan kondisi tersebut, apa yang harus dilakukan sebagai solusi, baik dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat itu sendiri?

1. Kebijakan. Indonesia dikenal dengan negara yang cukup banyak produk peraturan perundang-undangan, termasuk masalah pengelolaan satwa dilindungi. Yang jadi masalah kemudian adalah ketidak-konsistensi dalam implementasi kebijakan tersebut, serta saling bertabrakan dengan aturan lain dilintas lembaga pemerintah itu sendiri. Sebagai contoh, satu kawasan ditetapkan sebagai koridor satwa, disisi lain untuk kepentingan investasi diterbitkan izin perkebunan atau pertambangan, dan banyak kasu lain. Artinya, perlu perbaikan ditingkat regulasi yang aturan tersebut menjadi payung hukum untuk semua sektor dan konsisten dalam implementasinya.

2. Edukasi. Masyarakat harus mendapatkan pengetahuan yang cukup, sehingga memiliki semangat yang sama dalam mengelola dan menangani konflik dilapangan. Gajah tidak perlu dianggap sebagai Hama yang harus dimusnahkan, bagaimana kemudian dengan pengetahuan yang cukup masyarakat dapat hidup berdampingan dengan mamalia besar itu. Sejarah membuktikan bahwa masyarakat Aceh dimasa lalu mampu hidup berdampingan dengan gajah.

3. Ekonomi alternatif. Perlu dicanangkan program ekonomi alternatif bagi masyarakat yang selama ini hidup berkonflik dengan Gajah. Sebagai contoh digagas ekowisata gajah liar. Sehingga masyarakat menjadi pemandu wisatawan juga pasti akan lahir sektor ekonomi lainnya dampak dari ekowisata tersebut. Sebagai contoh wisata Gajah liar di Amboseli National Park, Kenya, kemudian di Kui Buri National Park, Thailand, atau Periyar National Park, India.


4. Standar Penanganan. Masyarakat terdampak dari konflik Gajah mengeluh bahwa dalam penanganan Gajah berlaku standar ganda. Ketika warga melaporkan keberadaan gajah masuk pemukiman atau kebun kepada pihak berwenang, butuh waktu 20 hari lebih untuk mendapatkan respon dari pengaduan tersebut. Beda halnya ketika ada Gajah mati, laporan warga direspon dalam waktu 24 jam. Kekecewaan warga ini harus segera diakhiri, karena kondisi ini juga menjadi faktor warga "gelap mata" dalam menangani Gajah yang masuk pemukiman atau kebun.

5. SDA dan SDM. Negara harus menyediakan SDA dan SDM yang cukup untuk menangani konflik Gajah. Selama ini kurangnya anggaran dan personil menjadi alasan lambatnya penanganan konflik dilapangan.

6. Media Mitigasi. Semua wilayah konflik Gajah sangat kurang dan tergolong tidak ada alat sosialisasi atau rambu rambu sebagai upaya mitigasi untuk meminimalisir terjadi korban. Seharusnya instrumen tersebut tersedia dilapangan yang juga sebagai upaya edukasi bagi masyarakat. Misalnya, adanya call center pengaduan, papan larang atau himbauan, peta konflik, dan bentuk media kampanye lain yang mudah dipahami oleh masyarakat.

7. Kearifan Lokal. Pemerintah harus menggali dan mendokumentasikan kearifan lokal untuk disinergikan dengan hukum kekinian. Kenapa orang zaman dulu bisa hidup berdampingan dengan Gajah, kenapa sekarang tidak. Tentunya ada pengetahuan atau kearifan lokal yang ditinggalkan.

8. Kerja Kolaborasi. Penanganan konflik Gajah harus dilakukan secara kolaborasi dengan saling berbagi peran. Namun hal ini sulit dilakukan jika lembaga berwenang menutup data dan informasi atau terkesan alergi dengan komponen masyarakat sipil di daerah. Kerja Kolaborasi tidak hanya dengan lembaga penegakan hukum, juga harus terlibat masyarakat sipil dan masyarakat terdampak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun