Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Pengajar

Bagikan Yang Kau Tahu

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Aku Hanya Seorang Ayah

1 September 2025   16:40 Diperbarui: 3 September 2025   08:14 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ayah dan anak memasak(jacoblund via kompas.com) 

Meninggalnya istriku secara tak terduga benar-benar mengubah segalanya. Meski berusaha menghibur dan menguatkan anak-anakku dengan segala cara, mulai jalan-jalan, nonton, makan, membawa mereka ke psikolog dan apapun yang aku bisa tak mampu menghapus kesedihan yang terpancar di mata keempat anakku.

Mereka semua berubah, tidak seperti anak-anakku yang kemarin, sama sekali berbeda. Mungkin tanpa kusadari aku sendiri berubah, rasanya menjadi tidak percaya diri dan serba berantakan. Aku hanya mencoba kuat dan menguatkan anak-anakku, meski sebenarnya aku sendiri begitu rapuh.  

Hampir setengah tahun berlalu tidak lagi terdengar canda tawa mereka. Mereka tidak lagi suka bermanja-manja, mengomel, bertengkarpun tidak. Rumah benar-benar terasa sunyi, tanpa suara, bahkan harapan. 

Si Sulung yang saat itu baru masuk kuliah tak juga berangkat ke kampusnya. Padahal UKT dan kos-kosan sudah lunas kubayar. Dia begitu patah semangat dan aku benar-benar tak tahu bagaimana memulihkannya kembali. Bahkan kata psikolog dia terindikasi anxiety dan harus disuntik oleh psikiatri setiap kali rasa takunya kambuh.

Adik-adiknya lebih mendingan, karena masih mau berangkat ke sekolah meski dengan raut wajah datar. Di luar itu, masing-masing sibuk bermain game di pc, sedangkan si bungsu, putriku satu-satunya memilih membisu, sama sekali tidak bicara, apalagi tertawa. Meski demikian, hari-hari puteriku dihabiskan hanya dengan melukis dan terus melukis, meski setelahnya dirobek dan dibakar sendiri.

Seorang kawan yang seorang psikolog menyarankan mengajak mereka berpetualang yang memicu adrenalin dan akupun mencobanya. Semula mereka enggan beranjak dari tempat duduk atau mobil setiap kali aku ajak jalan-jalan ke tempat wisata, tapi kali ini aku berhasil memaksa mereka ikut arung jeram.

Benar saja, guncangan gelombang dan arus air sukses memaksa mereka berteriak dan akhirnya tertawa lepas. Esok harinya mereka kuajak naik wahana-wahana ekstrem dan ternyata sukses membangkitkan kembali jiwa-jiwa yang nyaris membeku.

Suasana rumah sedikit hidup oleh ekspresi mereka mulai ceria. Sialnya, semua cita-cita dan rencana hidup yang dulu sering kita bahas bersama almarhumah ibunya hilang begitu saja. Si Sulung yang dulu mengidolakan Hotman Paris tidak berminat lagi menjadi pengacara, padahal dia diterima di salah satu prodi hukum terbaik dan termahal di Jogja. "Aku nggak mau kuliah lagi, pah. Aku mau bisnis saja", tegasnya. 

Sebagai orang tua berpendidikan tinggi, sejujurnya aku keberatan, tetapi aku tak berani memaksanya. Aku tak kuasa melarang dan hanya bisa mendukung saat dia mulai membuka cafe bersama kawan-kawannya. Sesekali aku membujuknya untuk kuliah khusus karyawan, tapi dia sama sekali tidak tertarik dan memilih sibuk membuat konten dan mempromosikan cafe-nya.

Anak nomor dua yang dulu ingin lagi jadi dokter berubah ingin jadi pengusaha saja, mengikuti jejak kakaknya, tapi untungnya dia masih mau kuliah managemen bisnis. Sedangkan anak nomor tiga dan empat belum mau memikirkan cita-citanya, tapi sibuk dengan hobby barunya bersama kawan-kawannya. 

Tanpa seorang ibu, anak-anakku seperti tumbuh sesuka hatinya. Tidak ada yang ngomel, menasehati apalagi memaksa anak-anak melakukan ini dan itu seperti dulu. Meski suka ngomel dan marah-marah, almarhum ibunya tetap disayang anak-anaknya, peran yang aku tidak mampu mengambil alih dari ibunya.

Setiap kali ada makanan, biasanya mereka melingkar di hadapan ibunya, tetapi itu tidak pernah lagi terjadi bila aku yang membawa makanan. Mereka cuma mengambil secukupnya lalu pergi meninggalkanku sendirian.    

Perlahan aku merasa ditinggalkan anak-anakku yang lebih sibuk dengan dunia baru mereka. Hanya didampingi seorang ayah, anak-anak seperti beranjak dewasa, mandiri dan mampu menentukan jalan hidupnya jauh lebih cepat dibanding seharusnya.

Tugasku hanya mencari nafkah dan memastikan semua baik-baik saja. Padahal selain berperan sebagai ayah, seharusnya aku juga mampu berperan sebagai ibu bagi mereka, tapi aku benar-benar tidak bisa.

Aku hanya seorang ayah saja.    

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun