Demokrasi dan demonstrasi ibarat dua sisi mata uang yang sama-sama lahir dari semangat kebebasan. Demokrasi memberi ruang bagi rakyat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan, sedangkan demonstrasi menjadi sarana kontrol sosial terhadap jalannya pemerintahan. Dalam konteks Nepal, hubungan keduanya sangat erat. Demokrasi menjadi arena bagi para pemimpin politik menentukan arah kebijakan, sementara demonstrasi hadir sebagai wadah bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasi serta mengoreksi kebijakan yang dianggap tidak berpihak.
Sepanjang sejarah, hampir tidak ada demokrasi yang tumbuh sehat tanpa adanya ruang ekspresi rakyat. Demonstrasi bisa disebut sebagai "napas kedua" demokrasi, sebab tanpa partisipasi rakyat, demokrasi akan kehilangan makna substansialnya. Bagi Nepal, yang baru beberapa dekade meninggalkan sistem monarki absolut, demonstrasi memiliki peran penting dalam memperkuat nilai-nilai demokrasi yang baru tumbuh.
Sejarah Perjuangan Demonstrasi di Nepal
Nepal pernah berada di bawah sistem monarki absolut selama berabad-abad. Namun, semangat perubahan muncul seiring meningkatnya kesadaran politik rakyat. Gerakan rakyat pada tahun 1990, atau yang dikenal dengan Jana Andolan I, menjadi titik balik penting. Aksi tersebut berhasil memaksa pemerintah menyusun konstitusi baru yang lebih demokratis dan membatasi kekuasaan raja.
Perjalanan belum berhenti di situ. Pada tahun 2006, gerakan Jana Andolan II kembali mengguncang Nepal. Aksi besar ini menumbangkan sisa-sisa kekuasaan monarki dan membuka jalan menuju republik federal. Dari dua peristiwa tersebut, terlihat bahwa demonstrasi di Nepal bukan sekadar bentuk kemarahan spontan, melainkan perjuangan panjang untuk memperoleh hak politik dan kebebasan sipil.
Tanpa gerakan rakyat tersebut, kemungkinan besar Nepal masih terjebak dalam sistem politik tertutup. Karena itu, demonstrasi menjadi bagian penting dari pembentukan budaya politik baru di negara tersebut.
Dinamika Demonstrasi: Damai dan Anarkis
Meski memiliki semangat demokratis, demonstrasi di Nepal tidak selalu berlangsung damai. Dalam beberapa peristiwa, aksi protes berubah menjadi bentrokan yang menelan korban. Biasanya hal ini dipicu oleh kekecewaan mendalam terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil.
Krisis politik tahun 2015 menjadi contoh nyata. Setelah disahkannya konstitusi baru, kelompok etnis Madhesi di wilayah Terai merasa tidak diakui secara proporsional. Aksi protes yang awalnya damai berubah menjadi bentrokan dengan aparat keamanan. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa tanpa manajemen konflik yang baik, demonstrasi bisa bergeser menjadi tindakan destruktif dan memperuncing perpecahan sosial.
Kondisi semacam ini memperlihatkan perlunya pendekatan baru dalam memahami demonstrasi, yakni dengan menumbuhkan empati dan saling pengertian di antara pihak-pihak yang terlibat.
Demonstrasi Terkini di Nepal (2025): Suara Generasi Z
Pada September 2025, Nepal kembali diguncang gelombang demonstrasi besar yang dipelopori oleh generasi muda, terutama Generasi Z. Aksi ini dipicu oleh kebijakan pemerintah yang melarang 26 platform media sosial seperti Facebook, Instagram, WhatsApp, dan YouTube. Pemerintah beralasan bahwa langkah tersebut berkaitan dengan regulasi pendaftaran platform digital.
Namun, bagi masyarakat muda, kebijakan ini dianggap sebagai bentuk pembatasan kebebasan berekspresi dan penutupan ruang dialog publik. Media sosial selama ini berfungsi sebagai wadah komunikasi, kreativitas, sekaligus sarana kritik terhadap pemerintah. Karena itu, larangan tersebut memunculkan perlawanan besar di kalangan mahasiswa dan pelajar.
Aksi yang dimulai damai di kawasan Maitighar, Kathmandu, berubah ricuh setelah aparat menembakkan gas air mata dan peluru tajam. Peristiwa tragis itu menewaskan lebih dari belasan orang dan melukai ratusan lainnya. Akhirnya, di bawah tekanan publik, pemerintah mencabut larangan tersebut dan beberapa pejabat tinggi mengundurkan diri.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa kekuatan suara rakyat, terutama dari kelompok muda, tetap menjadi elemen penting dalam mengarahkan kebijakan negara. Namun, cara represif dalam merespons aspirasi justru memperburuk krisis kepercayaan antara rakyat dan pemerintah.
Demonstrasi Empatik: Sebuah Tawaran Solusi
Melihat dinamika tersebut, tampak bahwa masalah utama demonstrasi di Nepal seringkali bersumber dari kurangnya empati --- baik dari pihak pemerintah maupun massa aksi. Pemerintah kerap melihat demonstrasi sebagai ancaman, bukan bentuk partisipasi warga negara. Sebaliknya, sebagian demonstran terkadang meluapkan kemarahan tanpa kendali hingga menimbulkan kekerasan.
Konsep demonstrasi empatik dapat menjadi jalan tengah untuk menciptakan keseimbangan antara aspirasi dan keamanan publik. Pendekatan ini mencakup beberapa prinsip utama:
1. Tujuan yang jelas dan terarah
Setiap aksi perlu memiliki fokus dan tuntutan yang spesifik agar tidak kehilangan arah serta tetap konstruktif.
2. Pendekatan humanis aparat keamanan
Aparat diharapkan mengedepankan dialog dan menahan tindakan represif. Gestur sederhana seperti memberi ruang diskusi atau menggunakan simbol damai dapat menurunkan ketegangan.
3. Penyaluran emosi secara kreatif dan damai
Aksi demonstrasi bisa dikemas melalui seni, musik, atau simbol solidaritas yang tetap tegas tetapi tidak destruktif.
4. Peran media yang berimbang
Media massa hendaknya tidak hanya menyoroti kericuhan, tetapi juga menampilkan substansi tuntutan rakyat, sehingga publik memahami makna perjuangan yang sebenarnya.
Implikasi bagi Masa Depan Demokrasi Nepal
Demonstrasi empatik memiliki potensi besar untuk memperkuat masa depan demokrasi Nepal. Pertama, ia memastikan bahwa rakyat tetap menjadi bagian utama dalam proses demokrasi. Kedua, pendekatan empatik dapat mengurangi polarisasi dan memperbaiki hubungan antara rakyat dan pemerintah. Ketiga, budaya politik yang lebih dialogis akan menumbuhkan kepercayaan publik terhadap negara.
Tokoh-tokoh dunia seperti Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr., dan Nelson Mandela telah membuktikan bahwa perubahan besar dapat dicapai melalui demonstrasi damai. Pesan yang disampaikan tanpa kekerasan lebih mudah diterima dan meninggalkan jejak moral yang kuat.
Bagi Nepal, dengan pengalaman panjang dalam perjuangan rakyat, model ini sangat relevan untuk diterapkan sebagai fondasi demokrasi yang lebih matang.
Kesimpulan
Perjalanan demokrasi di Nepal menunjukkan bahwa demonstrasi memiliki peran penting dalam memperjuangkan kebebasan dan keadilan. Dari Jana Andolan hingga aksi Generasi Z tahun 2025, rakyat Nepal konsisten menunjukkan keberanian untuk menolak ketidakadilan. Namun, kekerasan dalam demonstrasi justru merusak makna perjuangan itu sendiri.
Karena itu, konsep demonstrasi empatik menjadi alternatif yang perlu dikembangkan. Melalui cara yang damai, rasional, dan manusiawi, rakyat dapat terus menyuarakan pendapat tanpa mengorbankan nilai kemanusiaan. Pemerintah pun perlu menanggapi aspirasi publik secara terbuka dan bijaksana.
Demonstrasi empatik pada akhirnya bukan hanya bentuk perlawanan, tetapi juga ekspresi cinta rakyat terhadap negaranya --- cinta yang diwujudkan dengan keberanian untuk berkata benar sambil tetap menjaga martabat dan kemanusiaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI