Memasuki 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, secara mengejutkan kebijakan efisiensi anggaran menjadi sorotan tajam di tengah dinamika politik dan ekonomi nasional. Salah satu langkah strategis yang diambil adalah penerapan efisiensi anggaran negara negara yang tertuang pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025.
Pemerintah menetapkan kebijakan efisiensi anggaran sebesar Rp 306,7 triliun, yang mencakup pemangkasan belanja kementerian dan lembaga sebesar Rp 256,1 triliun serta pengurangan transfer anggaran ke daerah sebesar Rp 50,59 triliun. Langkah ini merupakan bagian dari pelaksanaan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Pengendalian Belanja Pemerintah Pusat dan Daerah, yang menekankan optimalisasi belanja untuk program prioritas nasional. Kebijakan ini juga  diperkuat melalui Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025.
Namun, efisiensi anggaran sebesar Rp 306,7 triliun tersebut menimbulkan pertanyaan serius di kalangan publik dan pengamat kebijakan, terutama terkait potensi pemotongan subsidi. Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 maupun Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025, kekhawatiran mulai mencuat bahwa sektor-sektor strategis seperti energi turut terdampak secara tidak langsung.
Hal tersebut kemudian diperkuat oleh Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yakni Yuliot Tanjung yang mengungkapkan bahwasannya kementeriannnya mengalami pemangkasan anggaran sebesar Rp 1,65 triliun, atau setara dengan 42 persen dari total pagu anggaran tahun 2025. Hal itu beliau uangkapkan dalam Rapat Kerja dengan DPR pada Rabu, 12 Februari 2025. Kondisi ini berimplikasi pada distribusi subsidi energi, termasuk LPG 3 kg, yang kian terbatas dan menimbulkan keresahan di tengah Masyarakat (Tempo, 2025).
Di lapangan, dampak dari potensi pengetatan anggaran subsidi sudah mulai terasa. Salah satu yang paling mencolok adalah kelangkaan LPG 3 kg (subsidi) di sejumlah daerah. Berdasarkan pemberitaan media nasional dan laporan dari pemerintah daerah, dalam beberapa bulan terakhir masyarakat di berbagai wilayah seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, dan Sulawesi Selatan yang mengalami kesulitan mendapatkan gas LPG bersubsidi. Antrean panjang di pangkalan resmi maupun pengecer menjadi pemandangan umum, bahkan di beberapa tempat harga eceran melampaui HET (Harga Eceran Tertinggi) yang ditetapkan pemerintah.
Misalnya, di berbagai kabupaten di Jawa Tengah, harga LPG 3 kg di tingkat pengecer tembus Rp 25.000 hingga Rp 30.000 per tabung. Di Kabupaten Sukoharjo, seorang warga mengungkapkan bahwa ia harus keliling ke 15 warung untuk mendapatkan LPG 3 kg, dan akhirnya mendapatkannya dengan harga Rp30.000 per tabung. Padahal sebelumnya, harga gas tersebut hanya sekitar Rp23.000 (Bisnis, 2025).
Sementara itu Di Kota Semarang, Ombudsman Jawa Tengahpun juga menerima keluhan dari warga yang kesulitan mendapatkan LPG 3 kg. Salah satunya adalah Bapak Ibnu Abdulah yang mengungkapkan bahwa ia harus mencari selama tiga hari untuk mendapatkan satu tabung gas dengan harga Rp 25.000, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan sebesar Rp 18.000 (Ombudsman, 2025).
Situasi kelangkaan LPG 3 kg yang terjadi di berbagai daerah seharusnya menjadi cermin bagi pemerintah untuk meninjau ulang pendekatan dalam menjalankan efisiensi anggaran. Ketika retorika efisiensi dan pengendalian belanja menjadi prioritas utama, pemerintah tak boleh abai terhadap realitas sosial dan kebutuhan dasar masyarakat, terutama kelompok rentan yang paling terdampak. Energi bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan kebutuhan pokok yang menentukan keberlangsungan hidup rumah tangga kecil.
Oleh karena itu, agar kebijakan efisiensi anggaran tidak memperburuk kondisi masyarakat, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap dampaknya, terutama di sektor energi yang langsung menyentuh kebutuhan rakyat. Kelangkaan LPG 3 kg di berbagai daerah tidak hanya disebabkan oleh keterbatasan anggaran, tetapi juga diperparah oleh praktik penimbunan dan distribusi yang tidak merata. Oleh karena itu, evaluasi anggaran harus disertai pengawasan ketat di lapangan, penertiban distribusi, serta penegakan hukum terhadap oknum yang menyalahgunakan subsidi. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa setiap kebijakan penghematan tidak menimbulkan beban tambahan bagi masyarakat kecil. Dengan begitu, efisiensi anggaran tidak hanya menjadi instrumen pengendalian fiskal, tetapi juga tetap berpihak pada keadilan sosial dan melindungi rakyat agar tidak menjadi korban dari kebijakan yang semestinya dirancang untuk kesejahteraan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Bisnis. (2025, Februari 6). Cerita warga keliling 15 warung cari LPG 3 kg, akhirnya dapat harga Rp30.000. Retrieved from Bisnis.com: https://ekonomi.bisnis.com/read/20250206/44/1837287/cerita-warga-keliling-15-warung-cari-lpg-3-kg-akhirnya-dapat-harga-rp30000