Mohon tunggu...
Narwan Eska
Narwan Eska Mohon Tunggu... Jurnalis - Pemahat Rupadhatu

Berkelana di belantara sastra, berliterasi tiada henti

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Prenjak

19 Agustus 2019   10:20 Diperbarui: 19 Agustus 2019   10:39 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: jalaksuren.net

Pagi itu Kodrat masih asyik dengan tiga burung prenjaknya. Prenjak-prenjak yang baru didapatnya dari seorang pedagang kemarin siang di pasar desa dengan harga yang dianggapnya murah. Kodrat berharap akan mendapat keuntungan besar bila prenjak-prenjak itu dijual lagi ke pasar kota.

Kodrat kini memang menekuni pekerjaan sampingan sebagai pedagang burung ocehan. Membeli burung dari satu orang kemudian menjual lagi ke orang lain. Atau dari pasar satu ke pasar yang lain. 

Meski gagal melamar CASN kemarin, namun tetap menjadi guru honorer di sebuah sekolah dasar. Tadinya memang ia nyambi menanam cabai dan sayuran, namun gagal akibat kemarau. Hal itu membuat Kodrat banting stir menekuni sampingan sebagai blantik burung ocehan.

"Pak ... sudah siang, nanti terlambat lagi," peringatan dari suara yang tak asing lagi bagi Kodrat mengusik keasyikannya.


"Ya, ya sebentar," sahut Kodrat.

"Nanti ditegur kepala sekolah lagi karena terlambat."

Kodrat segera memberesi makanan burung. Setelah menempatkan prenjak-prenjaknya di longkang segera ia menuju meja makan untuk sarapan.

***

Sepeda motor Kodrat melaju membawanya ke tempat kerja. Sebuah SD yang jauh dari keramaian kota. Di perjalanan Kodrat bertemu dengan teman seprofesinya di pasar burung.

"Pak Kodrat, Sampeyan punya dagangan apa?" tanya Kodir temannya itu.

"Prenjak."

"Bagus nggak?"

"Sip! Lincah dan cerewet."

"Buat saya saja, Pak."

"Boleh. Kapan ke rumah?"

"Nanti siang sepulang dari pasar."

"Oke, aku tunggu."

Hati Kodrat gembira. Angannya segera melayang pada lembaran seratus ribuan yang bakal menjadi keuntungannya.

***

Sepulang mengajar, Kodrat kembali asyik dengan prenjak-prenjaknya. Masih terbayang lembaran seratus ribuan di kelopak matanya. Terdengar suara motor berhenti di halaman rumah. Kodrat segera menggantung prenjak-prenjaknya di longkang. Bergegas dia ke halaman rumah.

"Mana Pak, prenjaknya?" tanya Kodir.

"Di longkang. Ayo masuk dan lihat sendiri."

Seperti dikomando, prenjak-prenjak Kodrat ngoceh riuh dan nyaring. Kodrat tersenyum bangga. Ocehan prenjak-prenjaknya seakan tahu isi hati Kodrat. Mereka ngoceh seperti mengeja lembaran seratus ribuan.

"Minta berapa, Pak?"

"Seekor seratus ribu. Jadi bila kau ambil semua, seratus lima puluh ribu," kata Kodrat menawarkan.

"Mahal, Pak."

"Lho, kamu dengar sendiri, Dir. Cerewet dan nyaring begitu kok kamu minta murah?"

"Bagaimana kalau lima puluh ribu per ekor, Pak?"

"Belum boleh, Dir. Kalau kamu nggak mau, besok Pahing aku bawa sendiri ke pasar. Bagaimana, Dir?"

"Tidak berani, Pak."

Padahal sebenarnya, bila Kodrat menjualnya tujuh puluh lima ribu per ekor pun sudah untung. Tapi Kodrat tak memberikannya kepada Kodir. Dia yakin prenjak-prenjak itu akan laku mahal besok di pasar kota.

"Coba nanti sore, Pak. Saya pikir-pikir dulu."

"Baiklah Dir, aku tunggu nanti sore."

***

"Kenapa tidak sampeyan berikan saja, Pak?" tanya istri Kodrat sore harinya.

"Rugi, Bu. Prenjak itu bagus, aku yakin di pasar bisa laku serratus ribu per ekornya."

"Kapan sampeyan akan membawanya ke pasar? Menunggu Minggu Pahing?"

"Tidak, Bu. Besok Selasa Pahing."

"Mbolos lagi?"

"Ya, tak apa-apa, Bu. Kan nggak ada salahnya nututi rejeki?"

"Tapi kalau sering mbolos mengajar, apa kata teman-teman sampeyan di sekolah? Apa sampeyan tidak malu sering ditegur kepala sekolah?"

"Apa kamu tidak lihat, Bu? Sepeda motor kita itu bannya sudah gundul. Aku harus segera menggantinya. Kalau sampai mbledos, wah malah bisa libur mengajar nanti."

"Ah, terserah sampeyan saja."

Segera Kodrat menghampiri prenjak-prenjaknya yang masih saja cerewet di longkang. Dengan hati berbunga-bunga diturunkannya sangkar-sangkar prenjaknya ke tanah. Belum sempat memberi ulat pada prenjaknya, terdengar suara sepeda motor berhenti di halaman rumahnya. Bergegas Kodrat berlari ke halaman, tangannya masih memegang pakan prenjak.

Ternyata bukan Kodir yang datang, melainkan Pak Kadus dengan undangan di tangannya.

"Pak Kodrat diminta hadir, karena penting."

"Masalah apa, Pak?"

"Rencana rehab balai desa."

"Banyak yang diundang?"

"Banyak juga. Oh, ya sulingan-nya sudah laku?"

"Sudah, Pak. Sekarang ada prenjak, mau Pak?"

"Ah, lain kali saja. Saya permisi dulu Pak Kodrat."

***

Setelah Pak Kadus meninggalkan halaman rumah, bergegas Kodrat kembali ke longkang lagi. Perasaannya was-was, karena prenjak-prenjaknya berhenti ngoceh. Lama juga ia meninggalkan longkang.

Betapa kagetnya Kodrat, ketika dilihatnya sangkar prenjak-prenjaknya jungkir balik dan pintunya terbuka semua. Kosong melompong.

Prenjak-prenjak itu telah raib dari sangkarnya yang terbuat dari bambu itu. Bingung sekali Kodrat tiba-tiba. Dia memutar-mutar keliling longkang. Matanya mengedar ke atas, ke bawah, dan ....

"Celaka!"

Didapatinya bulu-bulu prenjak yang bercampur darah, berserakan di sudut longkang.

"Kucing sial! Awas kau!" umpat Kodrat mengancam kucing yang entah milik siapa dan entah lari ke mana.

Pupus sudah harapan Kodrat menerima lembaran-lembaran seratus ribuan. Kodrat lemas duduk tertunduk. Di matanya kini tak lagi terbayang lembaran seratus ribuan, namun terbayang roda sepeda motornya yang gundul dan melindas batu jalanan. Dor! (*)

Magelang, Agustus 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun