Mohon tunggu...
Nareswari Nayla Zubayd
Nareswari Nayla Zubayd Mohon Tunggu... mahasiswa

Hello ! welcome to my account.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tabir di Balik Diagnosis

18 Oktober 2025   08:32 Diperbarui: 18 Oktober 2025   08:32 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada suasana embun pagi yang menyejukkan di kota Bandung. Langit di kota Bandung pagi itu terlihat kelabu. Hujan semalam meninggalkan aroma tanah basah yang menembus hingga ke koridor rumah sakit Nasional tersebut. Diantara langkah tergesa para tenaga medis dan suara mesin monitor yang berdenyut seperti suara detak jantung, terlihat seorang wanita muda yang berjalan keluar dari rumah sakit tersebut. Ekspresinya terlihat muram, seperti awan kelabu di pagi hari itu yang seolah menggambarkan suasana hatinya yang tak pernah tenang. Di tangannya masih tergenggam map hitam. Gadis itu menghentikan langkahnya, berbalik badan dan matanya menatap lekat gedung tempat ibunya bekerja dulu. Gadis itu, Varsha masih teringat dengan jelas ketika dia mendapatkan kabbar tentang ibunya untuk pertama kali.

  Sepuluh tahun yang lalu, di sebuah rumah yang terlihat masih sepi, Varsha remaja duduk diruang tamu rumahnya yang sepi. Malam itu hujan deras turun tanpa jeda. Varsha selalu menyukai hujan, tetapi tidak dengan malam itu. Ia menatap jarum jam yang seakan berjalan lambat dari biasanya. Ibunya, belum pulang dari rumah sakit sejak pagi. Telepon genggam miliknya terus Ia gunakan untuk menghubungi ibunya berulang kali, namun tidak ada jawaban. Varsha menghela nafas untuk kesekian kalinya pada malam itu. Angin malam menerobos masuk celah jendela, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang.  Varsha beranjak dan masuk ke kamarnya, ia lelah jika menunggu terlalu lama. “...mungkin mama memang sedang sibuk” gumamnya pelan, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah. Ada  kilatan petir yang memecah langit malam itu, diikuti suara guntur yang bergema.

   Keesokan paginya, terdengar suara bel rumah terdengar berbunyi beberapakali. Terlihat Varsha yang masih meringkuk di bawah selimut. Varsha menarik selimutnya lebih lagi, berusaha tertidur kembali namun dirinya diliputi kecemasan. Ia lantas beranjak dari tempat tidurnya, segera turun ke bawah dengan jantung yang berdebar.  Pintu  terbuka, memperlihatkan dua orang polisi. Jas hujan  mereka masih meneteskan air. Salah satu dari mereka membawa map hitam yang terbungkus plastik, sementara yang lain menatap gadis tersebut dengan sorot mata yang sulit ditebak.  Setelah itu Varsha mempersilahkan kedua tamunya untuk masuk. Di ruangan itu suasana mendadak terasa tegang. Hanya terdengar suara jarum jam yang berdetak. Salah satu polisi yang memegang map hitam itu perlahan membuka map tersebut. Polisi itu menatap Varsha dengan ragu, seolah mencari waktu yang pas untuk berbicara. “Kami disini ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting, Nona Varsha” ucapnya pelan. Suara itu terdengar berat. Varsha pun tercekat, merasakan tenggorokannya kering.

Beberapa lebar foto dan lembar kertas dikeluarkan dari map itu, terbungkus plastik bening juga. Di dalamnya ada wajah yang begitu Varsha kenal tampak pucat dan tidak bernyawa. Waktu seketika terasa berhenti berjalan. Varsha menatap foto itu, dadanya terasa sesak, pandangan kabur. Foto yang ada di genggamannya seketika jatuh dan berserakan di lantai. “Ibu Helena ditemukan di tepi sungai pagi ini”. Suara polisi itu terdengar jauh.

Sepuluh tahun telah berlalu sejak hari kelam di hidupnya itu terjadi. Pagi itu, di sebuah kafe kecil di dekat Rumah Sakit Nasional, Varsha duduk di pojok ruangan dengan segelas susu cokelat hangat yang belum tersentuh sejak disajikan. Di atas meja, tergeletak sebuah map hitam yang pinggirannya mulai terlihat kusut. Jantungnya terasa berdetak lebih cepat saat membuka kembali map tersebut. Ia perlahan mengambil berkas-berkas di dalamnya. Beberapa diantaranya berisi foto lama, laporan otopsi, serta ada berkas baru yang berupa salinan beberapa catatan medis yang baru saja Ia dapatkan pagi itu. Beberapa nama terlihat di coret tebal dengan tinta hitam. Ketika membaca selembar berkas yang baru, tatapannya berhenti pada sesuatu yang janggal. Tanggal dan hasil pemeriksaan tidak sesuai dengan laporan yang ia lama yang ia baca. Sebuah dugaan muncul di benaknya. Mungkin, ada sesuatu yang disembunyikan.

  Beberapa hari telah berlalu. Taksi yang Ia pesan membawanya ke sebuah rumah tua di pinggiran kota Semarang. Varsha perlahan turun dari mobil tersebut setelah membayar dan berterima kasih. Perlahan Ia mulai melangkah ke rumah tersebut. Ia disambut oleh seorang wanita muda. “Eh … mbak Varsha ya? Ayo masuk mbak ibuk saya ada di dalam” ucap wanita itu, yang Varsha duga itu merupakan anak dari wanita yang Ia cari. Varsha mengangguk “iya dengan saya sendiri, terima kasih banyak sebelumnya dan maaf billa saya mengganggu” balas varsha dan dijawab dengan kibasan tangan dari wanita itu, bahwa ia tidak keberatan dengan kehadiran Varsha.  Di ranjang, seorang wanita paruh baya yang sudah berusia lanjut. Rambutnya sudah mulai memutih. Wanita tua tersebut ialah Bu Siti, Beliau merupakan perawat lama yang pernah berkerja dengan dr. Helena. Varsha duduk di tepi ranjang, matanya menatap lekat pada Bu Siti dengan penuh harapan.  “Ibu … apa ibu mengenal nama dalam berkas ini?” Ucapnya dengan nada pelan dan hati-hati, sambil menunjukkan fotocopi catatan medis dari map hitam tersebut.

   Bu Siti tampak terdiam cukup lama. Ia menerawang ke arah langit-langit rumah. “Kau itu … anaknya Helena kan?” ucapnya lirih. “ibumu itu … sudah tau sesuatu yang harusnya tidak boleh diketahui. Kami semua tau, tapi milih diam.” Suaranya bergetar ketika mengatakan hal itu, seolah takut akan sesuatu. Varsha menatapnya lekat. Perasaanya  ngeri, tapi Ia juga penasaran. Ingin rasanya bertanya lebih, tapi wanita tua itu membalikkan badan, seolah ingin percakapan berakhir. Di luar, matahari mulai turun dan langit berwarna jingga. Varsha pun berpamitan dan segera beranjak pulang dengan perasaan yang campur aduk.

 Setelah hari yang melelahkan kala itu, Varsha kembali ke Rumah Sakit tempat ibunya bekerja dulu. Pada malam hari, lorong-lorong di rumah sakit itu tampak sunyi, hanya terdengar beberapa aktifitas di sebagian ruangan. Dengan langkah yang sedikit ragu, Varsha berjalan menuju ruang arsip. Sebagian dari ruangan itu terkunci. Ia mulai mencari-cari dan membuka beberapa arsip lama. Di antara tumpukan map itu, pandangan Varsha berhenti pada satu berkas bersegel dan diberi tanda bahwa itu tidak boleh dibuka. Ia pun nekat membukanya. Di dalamnya, tercantum nama ibunya. Jantungnya berdegup kencang, berkas itu cukup membuatnya kehilangan kata. Suara langkah petugas terdengar semakin mendekat. Segera ia menyalin data berkas tersebut ke dalam gawainya. Ia pun menyusup keluar dari ruangan tersebut.

Sepulangnya dari rumah sakit. Di kediamannya berlembar-lembar salinan kertas dari hasil salinan yang sebelumnya ia simpan di gawai kini berserakan di hadapan Varsha. Tulisan tangan ibunya ada diantara laporan medis dan pejabat rumah sakit. Warna tinta di kertas itu mulai memudar. Di antara banyaknya data yang berhasil dikumpulkan, ada kalimat tertulis disana yang membuat hatinya hancur. Kalimat itu tertulis “Jika sesuatu terjadi padaku, tolong jangan percaya pada laporan itu.” Hal itu cukup membuatnya terdiam lama. Semua hal yang Ia cari selama ini akhinya membuahkan hasil. Dalam keheningan malam itu matanya basah, karena tabir yang selama ini ditutup akhirnya tersibak.

Langit pada sore di atas pemakaman tampak cerah pada hari itu. Dihiasi cahaya jingga disela-sela  pepohonan. Angin berhembus pelan, membawa terbang beberapa bunga melati yang Varsha bawa untuk ibunya. Ia berlutut, tangannya menyentuh batu nisan. “kebenaran sudah kutemukan, Ma… meski terlambat.” Ucapnya pelan. Suasana pada sore hari itu cukup membuatnya tenang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun