Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu... profesional -

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Membedah Tudingan Standar Ganda dalam Eksekusi Duo Bali Nine

16 Maret 2015   01:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:36 1227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1426467052576776854

[caption id="attachment_403118" align="aligncenter" width="560" caption="Dua warga Australia, terpidana mati kasus narkotika kelompok Bali Nine, Andrew Chan (kiri) dan Myuran Sukumaran, saat perayaan HUT Kemerdekaan RI di Lapas, Denpasar, Kerobokan Bali, 17 Agustus 2011. (Firda Lisnawati/KOMPAS.com)"][/caption]

Saya  baru saja membaca dua media online Australia yang mempropagandakan tudingan bahwa pemerintah Indonesia mengidap standar ganda (double standard) dalam penerapan hukuman mati terhadap para terpidana mati kasus Bali Nine, khususnya terhadap dua warga Australia: Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.

Pertama, sebuah reportase yang dipublikasikan di The Guardian mengusung judul "Bali Nine: Indonesian has Death Penalty Double Standard, Says Brother of Spared Maid". Dalam reportase ini, mereka menggarisbawahi kasus Satinah Binti Jumadi Ahmad yang diloloskan pemerintah Indonesia dari hukuman mati di Arab Saudi dengan membayar "blood money". Mereka "meminjam" kata-kata Paeri al-Feri (saudara Satinah) untuk menuding Pemerintah Indonesia bersikap munafik. Di satu sisi mengupayakan pembebasan warga negara Indonesia dari hukuman mati di luar negeri, sementara saat yang sama menyiapkan pasukan eksekusi untuk menghabisi para terpidana mati di Indonesia.

Dan kedua, tulisan dengan tudingan senada juga dipublikasikan beberapa hari lalu di The Daily Telegraph dengan judul "Indonesia Got Its Own Citizen Death Row But Aussie Bali Nine Duo Still Await Execution". Dalam tulisan ini, dinyatakan bahwa Indonesia telah berupaya keras membebaskan para warga negaranya dari hukuman mati di luar negeri termasuk dalam kasus narkoba, maka hal yang sama dilakukan oleh pemerintah Australia terhadap kedua warga negaranya.

Terhadap tudingan di atas, Armantha Nasir (juru bicara Menlu Indonesia) membantah bahwa pemerintah Australia tidak mengupayakan pembebasan kedua negaranya lebih awal ketimbang yang sudah dilakukan pemerintah Indonesia terhadap para warga negaranya (sumber).

Saya sendiri, jika harus menjawab tudingan standar ganda di atas, tidak akan berargumentasi berdasarkan momentum waktu upaya pembebasan sebagaimana yang dikemukan Nasir. Argumen ini memang mengindikasikan penekanan pada palu hukum yang sudah diketok, namun tidak memperhitungkan intonasi dalam trakat safeguards pada hukum internasional yang mendorong pengupayaan pembebasan pada semua tahap peradilan. Artinya, berdasarkan safeguards, momentum waktu upaya pembebasan dari hukuman mati merupakan kriteria yang tidak relevan!

Sebenarnya mudah saja menolak tudingan standar ganda di atas dengan menggunakan dua argumen. Pertama, argumen berdasarkan hukum internasional:


  1. Walau terdapat intonasi yang kuat ke arah abolisionisme, namun ICCPR masih mengijinkan hukuman mati untuk the most serious crimes.
  2. Walau ada jaminan yang tidak ambigu untuk pengupayaan grasi pada semua tahap peradilan bagi para terpidana mati, namun hukum internasional tidak mengharuskan pemberian grasi.


Berdasarkan dua proposisi penting di atas, Indonesia memiliki basis legal yang kuat untuk: a) menerapkan hukuman mati terhadap para terpidana kasus narkoba yang dalam hukum domestik tergolong sebagai the most serious crime; dan b) memutuskan untuk menolak memberikan grasi.

Argumen di atas soal validitas pelaksanaan hukuman mati dan keputusan untuk menolak memberikan grasi kepada para terpidana mati. Tetapi, argumen ini belum secara langsung menjawab tudingan standar ganda berkait upaya pemerintah Indonesia untuk membebaskan para warga negaranya dari hukuman mati di luar negeri, namun saat yang sama masih menerapkan hukuman mati di Indonesia.

Karena itu, kita perlu merujuk kepada argumen yang kedua, yaitu argumen analogis berdasarkan kesamaan posisi Indonesia dan Australia (analogical argument from the same position). Secara analogis, pada satu sisi, Indonesia dan Australia berada pada posisi yang sama di sini, yaitu sebagai pihak yang mengupayakan pembebasan para warga negaranya dari hukuman mati di luar negeri. Pada aspek ini, Indonesia hanya dapat dituduh mengidap standar ganda jika pemerintah Indonesia tidak memperbolehkan pemerintah Australia untuk mengupayakan pembebasan para warga negaranya. Nyatanya, mereka bebas bersuara dan mengajukan permohonan dan itu dihargai serta diakomodasi, sama seperti yang dilakukan Indonesia kepada negara-negara di mana warga Indonesia dijatuhi hukuman mati di sana.

Pertanyaannya, apakah penolakan grasi itu tergolong dalam "tidak memperbolehkan" pengupayaan di atas? Tidak sama sekali. Karena penolakan grasi itu adalah aspek yang berbeda dari upaya pembebasan itu sendiri. Penolakan pemberian grasi itu ada pada wilayah kedaulatan negara pelaksana hukuman mati. Posisi ini tidak dapat dianggap analogis dengan posisi Australia yang semata-mata ada pada posisi negara pengupaya pembebasan dari hukuman mati. Karena tidak analogis, maka bukan standar ganda ketika pemerintah Indonesia menolak memberikan grasi kepada dua terpidana mati asal Australia tersebut.

Pertanyaan selanjutnya, apakah dengan adanya warga Indonesia mendapatkan pembebasan dari hukuman mati di luar negeri namun menolak membebaskan kedua warga Australia tersebut lalu Indonesia bersikap munafik? Dengan kata lain, apakah pemerintah Indonesia karena tidak memperlihatkan keputusan murah hati yang setara maka pemerintah Indonesia mengidap standar ganda? Pertanyaan ini tidak harus dijawab secara positif berdasarkan beberapa argumentasi:


  1. Pemerintah Indonesia mengupayakan pembebasan warga negaranya dari hukuman mati di luar negeri, namun tidak mengharuskan negara-negara yang bersangkutan untuk membebaskan warga negara Indonesia yang dijatuhi hukuman mati di sana.
  2. Karena tidak mengharuskan hasilnya, maka hasil yang sama pun tidak dapat diharuskan dari pemerintah Indonesia.
  3. Ketidakharusan di atas merupakan sebuah aksioma karena ada pertimbangan-pertimbangan domestik yang ikut berperan penting, salah satunya tingkat keseriusan bahaya narkoba di Indonesia.
  4. Dengan kata lain, Indonesia hanya dapat dituding mengidap standar ganda jika dalam upayanya Indonesia mengharuskan hasilnya namun tidak memperlihatkan keharusan itu ketika Australia mengupayakan pembebasan bagi kedua warganya.


Sampai di sini, saya akan meringkas argumen saya dalam poin-poin penting berikut ini:


  1. Hukuman mati di Indonesia terhadap para terpidana mati kasus narkoba merupakan sesuatu yang sah baik menurut hukum yang berlaku di Indonesia maupun menurut hukum internasional.
  2. Mengupayakan pembebasan dari hukuman mati merupakan upaya yang sah namun tidak harus diikuti dengan pemberian grasi yang pada dasarnya juga merupakan keputusan yang sah (tidak melanggar hukum internasional maupun hukum yang berlaku di Indonesia).
  3. Indonesia tidak melarang upaya Australia untuk melakukan upaya terbaik mereka dalam rangka membebaskan para warga negaranya dari hukuman mati di Indonesia dan keputusan untuk menolak memberikan grasi tidak analogis dengan upaya tersebut.
  4. Karena tidak analogis maka penolakan untuk memberikan grasi atau komutasi bukan merupakan standar ganda ketika di satu sisi Indonesia mengupayakan pembebasan warganya dari hukuman mati di luar negeri namun menolak membebaskan dua warga Australia dari hukuman mati di Indonesia.
  5. Juga bukan merupakan standar ganda ketika ada warga negara Indonesia yang dijatuhi hukuman mati di luar negeri namun dibebaskan dari hukuman mati tersebut atas upaya pemerintah Indonesia karena dalam upayanya Indonesia tidak mengharuskan hasilnya.


Lagi pula, mungkin Australia perlu diingatkan bahwa dalam daftar nama para terpidana mati yang akan dieksekusi tahap kedua ini bersama dengan dua terpidana mati asal Australia juga ada warga Indonesia yang akan ikut dieksekusi mati yaitu Zainal Abidin bin Mgs Mahmud Badarudin. Jadi, tudingan bahwa Indonesia mengidap standar ganda dalam pelaksanaan hukuman mati terhadap dua warga Australia di atas merupakan tudingan yang tidak benar.

~Salam Kompasiana~

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun