Mohon tunggu...
Nararya
Nararya Mohon Tunggu...

Blog pribadi: nararya1979.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

"Double-Meaning" Praperadilan; Sayonara BG!

16 Februari 2015   16:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:06 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Subuh ini, sambil menanti putusan praperadilan BG, terlintas dalam benak saya untuk sekali lagi mengemukakan pengamatan saya soal "pesan" praperadilan BG, baik dari sisi BG sendiri maupun dari sisi Jokowi. Saya akan menggunakan kerangkan fenomena-noumena dari Immanuel Kant sebagai "kendaraan" (vehicle) bagi gagasan pengamatan saya.

Pesan simbolik-eksplisit

Satu pesan simbolik bagi Jokowi yang menurut saya terlewatkan dalam pengamatan para pengamat politik dalam sidang praperadilan BG adalah serangkaian pertanyaan kuasa hukum BG kepada saksi ahli, Margarito Kamis (11/2/2015). Serangkaian pertanyaan yang, dari perspektif argumentasi legal, tidak relevan dengan stasis praperadilan BG, sepeerti yang sudah saya tuliskan di sini.

Pertanyaan menggelitiknya adalah mengapa kuasa hukum BG justru memburu isu wewenang Presiden yang menurut keterangan ahli tidak dapat dibatalkan ketika DPR sudah menyetujuinya? Pertanyaan ini penting, berdasarkan prinisp charity, kita mesti memberikan kredit kepada kepakaran kuasa hukum BG. Maka, memburu sebuah isu yang tidak relevan dengan stasis praperadilan itu, sangat mungkin, bagi saya, dimaksudkan sebagai pesan simbolik bagi Jokowi.

Pesan simbolik itu adalah menang atau kalah di sidang praperadilan itu, Jokowi mesti melantik BG. Artinya, perburuan isu mengenai kewenangan Presiden di atas, sebenarnya tidak dimaksudkan untuk Praperadilan itu per se, melainkan sebagai langkah antisipatif terhadap hasil praperadilan yang secara naluriah pihak BG sudah bisa membaca hanya berpeluang kecil.

Saya sudah tergelitik soal "pesan simbolik" di atas sejak pertama kali membaca reportasenya. Namun karena tidak cukup indikatornya, saya menanti hingga kemarin saya membaca pernyataan eksplisit dari OC. Kaligis, kuasa hukum BG di Kompas.com. Kaligis menandaskan bahwa either menang atau kalah, Jokowi harus tetap melantik BG (sumber).

Bagi mereka, hasil praperadilan tidak mementukan dilantik atau tidaknya BG sebagai Kapolri. Maka keterangan ahli dalam sidang praperadilan di atas, akan digunakan sebagai acuan untuk menggugat Jokowi jika Jokowi membatalkan pelantikan BG.

BG: Bukan KPK tapi Jokowi

Sampai di sini, saya membaca bahwa langkah praperadilan sebenarnya bernilai ganda bagi pihak BG. Saya menggunakan kategori Kant, fenomena dan noumena, untuk pengamatan ini.

Di satu sisi, mereka kelihatannya ingin menggugat KPK dengan tuduhan abuse of power terhadap BG. Namun ini adalah sisi yang kelihatannya saja. Fenomenanya saja. Sesuatu yang publik bisa lihat. Mereka mengetahui, seperti keterangan saksi fakta dan keteraangan ahli dari pihak KPK, bahwa ada alat-alat bukti yang kuat bagi KPK untuk menetapkan status tersangka bagi BG. Dan bahwa praperadilan tidak berurusan untuk menguji validitas alat bukti. Mereka tahu itu dengan persis!

Tetapi, sesungguhnya noumena dari langkah praperadilan di atas adalah Jokowi. Praperadilan menjadi ruang legal yang resmi bagi mereka untuk mendapatkan keterangan ahli - maka mereka tidak pusing soal relevansinya dengan stasis praperadilan. Keterangan ahli ini akan menjadi "senjata" untuk menekan Jokowi agar mau tidak mau harus melantik BG. Nilai antisipatifnya adalah jika Jokowi tidak melantik BG, mereka akan naik ke tingkat yang lebih tinggi lagi untuk menggugat Jokowi.

Sesungguhnya,  "target" praperadilan itu bukan KPK, melainkan Jokowi sendiri!

Jokowi: Bukan praperadilan tapi penggalangan kekuatan

Di sisi lain, saya juga membaca bahwa bagi Jokowi, praperadilan BG bermakna ganda. Di satu sisi Jokowi menghormati proses hukum - sebuah proses yang sebenarnya dinilai cacat oleh banyak pakar hukum. Namun toh suda berjalan dan itu harus dihormati!

Konsekuensinya, Jokowi terkesan membiarkan dirinya dinilai lambat, lelet, dan sejeninya. Dan memang itu kesan yang tidak bisa ditolak membaca berbagai dalih Jokowi soal: nanti, sabar, satu hari lagi, dsb. Seakan-akan hasil praperadilan itu begitu signifikan bagi keputusannya soal BG.

Tetapi, bagi saya keputusan Jokowi tidak akan ditentukan oleh menang dan kalahnya BG dalam praperadilan tersebut. Saya percaya bahwa keputusan Jokowi adalah membatalkan pelantikan BG. Lalu mengapa Jokowi beralasan bahwa ia baru akan mengemukakan keputusannya pasca putusan praperadilan BG?

Jokowi sadar bahwa ada konsekuensi-konsekuensi hukum maupun politik yang harus ia hadapi saat membatalkan pelantikan BG. Itulah sebabnya, di samping menghormati proses hukum yang ditempuh pihak BG, Jokowi menggunakan kesempatan itu untuk memperkuat "pertahanannya" serta tetap fokus pada idealisme "triple-kerja"-nya kabinet Jokowi. Ia membentuk Tim Independen, merangkul Prabowo dan KMP, termasuk juga menggolkan APBN-P 2015 (baca di sini).

*************

Mengamati pemetaaan tipologis di atas, saya kira, hari ini atau secepatnya kita sudah dapat mengucapkan sayonara kepada BG. Sekali lagi, sayonara BG sang tersangka korupsi yang mudah-mudahan cepat didakwa kemudian bersemedi panjang di balik jeruji, tempat yang cocok baginya, bukan kursi Kapolri!

Have a great Monday; God bless you all!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun