Wacana bagaimana konstruksi Sumur Resapan (SR) dan Lubang Bio-pori (LB) dapat mengurangi limpasan (surface run-off) dan genangan akibat curah hujan lokal yang tinggi, yang berarti dapat mengurangi banjir, namun sekaligus dapat mengimbuh cadangan air tanah, telah berlangsung sejak awal era reformasi. Pada tahun 2013 kala itu, Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta telah membangun SR tipe Sumur Bor Dalam (SBD). Sejak 2017 hingga 2021 di DKI Jakarta (periode Gubernur Anies Baswedan), serta juga di berbagai provinsi dan kabupaten / kota di Indonesia telah dan sedang dibangun berbagai jenis / tipe SR dan LB sesuai NSPK yang diterbitkan berbagai K/L atau hasil rekayasa instansi terkait atau pakar lain. Semua program SR dan LB tersebut telah dan akan menelan anggaran biaya yang cukup besar.
Masifnya program SR di DKI Jakarta (rencana lk. 22.000 titik) telah memicu para pakar dan pengamat terkait mempertanyakan efektifitas dan efisiensi serta kesesuaian lokasi (kelayakan teknis, ekonomi, sosial, dan lingkungan - TESL) dari model SR yang dibangun di DKI Jakarta (dikleim sebagai drainase vertikal) untuk mengurangi banjir dan sekaligus mengimbuh air tanah. Berbagai ulasan, pendapat, dan kritikan tentang SR dan LB oleh berbagai pengamat sumber daya air permukaan dan air tanah, sumber daya alam kehutanan dan pertambangan, perkotaan, tata ruang, lingkungan hidup serta pengamat masalah sosial, ekonomi bahkan politik baik yang positip maupun yang negatif sudah tercatat dan terekam dalam berbagai media komunikasi cetak, televisi dan internet.
Pada TA 2021 DKI Jakarta akan merampungkan ratusan buah / titik SR tipe buis beton diameter 1 meter (m) kedalaman 3 m dengan 5 buis beton; kedalaman 4 m dengan 7 buis beton dan kedalaman 5 m dengan 9 buah buis beton. Pada dinding tiap buis beton diberi lobang diameter 3 cm dengan jumlah 24 lobang per buah buis beton, diharapkan sebagai jalan air keluar ke sekeliling luar sumur untuk kemudian menyerap masuk ke dalam tanah bersama air yang dari dasar sumur yang ditebari pasir dan kerikil. Yang menarik dan berbeda adalah SR yang dibuat Suku Dinas Kota Adm. Jakarta Timur di Jl. DI Panjaitan. Di dalam sumur buis beton kedalaman lk. 2 m, dibuat SBD dari pipa PVC diameter 5 inci dedalaman 20m. Walikota Jakarta Timur mengkleim SR model Sumur Dalam (SD) yang mereka buat, ternyata cukup efektif menurunkan genangan di Jl. DI Panjaitan.
Mengacu pada kritikan para pakar dan pengamat, penulis mencoba melihat permasalahan secara proporsional dan seimbang guna mencari solusi untuk realisasi “sasaran ideal pembuatan Sumur Resapan”. Terhadap sumur - sumur resapan (SSR) yang sudah dibangun sejak TA 2013 (ratusan buah / titik), apabila ternyata kurang efektif mengurangi / menyurutkan genangan lokal secara cepat, harus dicari atau di-audit teknis akar penyebabnya, sebagai masukan untuk bisa merumuskan perbaikannya. Seterusnya dari hasil audit teknis terhadap SSR yang sudah dibangun akan dapat dirumuskan rekayasa model atau tipe SR yang efektif dan layak TESL untuk diterapkan dalam program konstruksi SSR TA 2022 dan seterusnya (ribuan titik).
Untuk maksud tersebut penulis menyimpulkan sangat penting dan mendesak dilakukan Audit Teknis terhadap Sumur Resapan dan Lubang Bio-pori yang sudah dibangun di seluruh Indonesia. Diusulkan Tim Audit Teknis Nasional (TAT-N): Sumur Resapan dan Lubang Bio-pori merupakan kolaborasi K/L tertait, akademisi, dan Pemda diketuai BRIN (LIPI), ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
Pemahaman Konsep Mitigasi Bajir, Keberadaan Air Tanah, dan Sumur Resapan; Masukan Tim TATSRLB -N.
1. Pemahaman tentang dua metode mitigasi risiko bencana banjir dan kekeringan.
Untuk bisa mengerti keterkaitan curah hujan dengan kondisi topografi, geologi dan tutupan lahan DAS dan terjadinya debit aliran / banjir dan kekeringan, kita perlu pemahaman lima (5) prinsip dasar yaitu: (i) siklus hidrologi (air) di jagad raya: Limpasan yang menjadi Debit aliran / Banjir = Hujan – Epavorasi – Infiltrasi / Perkolasi , (ii) dampak kondisi geologi, topografi dan tutupan lahan terhadap debit banjir dan bahaya longsor, (iii) perubahan kondisi tutupan lahan DAS amat sensitif terhadap naik turunnya debit aliran Q = CiA (keseimbangan hidrologi DAS), (iv) konsep probabilitas banjir (risiko) dan keandalan ketersediaan ait di sungai, kemungkinan / probabilitas terjadinya banjir Pb = 1 / T, T = periode ulung, dan (v) masalah banjir di pesisir pantai dengan elevasi muka tanah yang rendah terhadap muka laut; selain genangan oleh hujan yang jatuh/turun di DTA / kawasan rendah setempat, maka parahnya genangan bisa bertambah karena pengaruh air pasang laut (banjir Rob) yang bebas masuk.
Dari pemahaman 5 prinsip dasar di atas kita dapat menyimpulkan bahwa: metode mitigasi risiko bencana banjir dan kekeringan (pengendalian banjir / daya rusak air) dapat dibedakan atas 2 (dua) kelompok. Yang pertama (1) upaya menahan atau meretensi semaksimal mungkin hujan ekstrim tertentu yang turun / jatuh di lahan DAS dengan (a) kegiatan rehabilitasi hutan (reboisasi & penghijauan) dan lahan (Gerhan / pemulihan DAS) dan (b) penerapan prinsip perubahan debit nol (Zero Delta Q) untuk memperbesar infiltrasi/resapan/perkolasi air ke dalam tanah, lazim disebut upaya non struktural.
Yang kedua (2) upaya mengatur agar sisa air hujan ekstrim yang menjadi limpasan / aliran permukaan (run-off), jelas alur perjalanannya mulai dari hulu elevasi tinggi tertentu membentuk alur kecil dan anak sungai, menjadi sungai, yang dapat ditahan dalam waduk dengan membangun bendungan, kemudian dengan sungai yang dinormalisasi / dibuat tanggul, debit banjir mengalir ke hilir elevasi yang lebih rendah sampai muara masuk ke laut secara ‘gravitasi’ (atau ‘pompanisasi’) dengan aman tanpa membanjiri (menggenangi) daerah hilir, lazim disebut upaya struktural fisik.