Jejak Teks Deskripsi di Sekolah Indonesia, dari Mengarang ke Berpikir kritis
Ketika kita berbicara tentang pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah, yang terlintas tentulah empat aspek keterampilan utama berbahasa yaitu: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Namun, di antara keempat aspek keterampilan berbahasa tersebut, keterampilan menulis selalu menjadi bagian paling menantang sekaligus memikat karena membuat penasaran. Mengapa? Karena bisa ditangguhkan kapan saja hasilnya pada waktu berikutnya, berbeda dengan menyimak, berbicara, bahkan membaca yang bisa segera disampaikan dan dilihat hasilnya.
Demikianlah keunikan menulis. Meskipun  hasil tulisan bisa disampaikan belakangan, begitu ditampilkan malah terlihat paling menawan karena perhatian fokus pada teks, bukan berbaur dengan tampilan fisik pemilik keterampilan tersebut. Selain itu, dari menulis surat hingga menulis karya tulis ilmiah, semuanya berakar pada keterampilan dasar yang sering luput dari perhatian, yaitu menulis teks deskripsi.
Meskipun menulis teks deskripsi terkesan sederhana, sekadar menggambarkan sesuatu dengan kata-kata, tetapi dibalik kesederhanaannya terpantul kekuatan mengamati, berpikir, dan emosi yang teraduk jadi satu demi menghasilkan deskripsi yang memesona. Deskripsi yang membuat pembaca seolah melihatnya meskipun hanya melalui tulisan yang dibacanya. Maka, bukan hal berlebihan manakala teks deskripsi dianggap sebagai jembatan dunia nyata dan dunia imajinasi.
Hal yang menarik lainnya dari teks deskripsi adalah dalam perjalanan kurikulum Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai sekarang, teks deskripsi selalu hadir, secara tersirat maupun tersurat, dengan nama dan pendekatan yang berbeda-beda pula.
Dari Mengarang ke Menulis Deskripsi
Pada masa awal kemerdekaan, sekitar Kurikulum 1947 hingga Kurikulum 1975, istilah "Teks Deskripsi" belum dikenal. Guru-guru saat itu lebih memilih menggunakan istilah mengarang yang secara struktur mengarah ke teks narasi tetapi dalam narasi tersebut pun siswa harus mengisinya dengan deskripsi agar karangannya terkesan hidup. Anak-anak diajak menulis pengalaman sehari-hari, menggambarkan suasana desa, suasana pagi yang cerah, perjalanan naik kereta api, menyusuri sungai, melihat padi menguning di sawah, dan sebagainya. Karangan tersebut diharapkan dapat membuat pembaca seolah mengikuti perjalanannya meskipun hanya membaca karangannya saja, misalnya judul karangan yang disukai siswa pada masa itu adalah "Berlibur ke Rumah Nenek".
Gorys Keraf dalam bukunya Eksposisi dan Deskripsi (1984) menyatakan bahwa deskripsi merupakan cara menulis untuk menyampaikan kesan indrawi kepada pembaca seolah-olah mereka melihat, mendengar, dan merasakan hal yang sama dengan penulis. Artinya, meskipun belum menggunakan istilah ilmiah seperti saat ini, guru masa lalu pada dasarnya sudah melatih kemampuan siswa untuk menulis teks deskripsi dari tugas mengarang bebas tentang pengalaman sehari-hari.
Selanjutnya, memasuki era Kurikulum 1984, yang juga dikenal dengan pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), kegiatan menulis menjadi lebih kreatif. Guru tidak hanya memberikan tema, melainkan mengajak siswa berdiskusi dan mengamati lingkungan sekitar sebelum menulis. Saat itulah, teks deskripsi semakin menonjol siswa belajar mengamati, merasakan, menghayati, lalu menuliskan hasil pengamatan mereka. Dengan kata lain, "mengarang" perlahan melangkah dan berubah menjadi "menulis secara deskriptif".
Era Kompetensi dan Kemunculan Teks Deskripsi
Pergantian abad membawa perubahan besar. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004 memperkenalkan istilah Teks Deskripsi secara eksplisit. Bahasa Indonesia tidak lagi diajarkan sebagai kumpulan tata bahasa, tetapi sebagai sarana berpikir dan berkomunikasi. Guru pun mulai mengajarkan struktur teks, tujuan komunikatif, serta unsur kebahasaan yang menyertainya. Menurut Jean Piaget, perkembangan berpikir anak remaja (usia SMP- SMA) berada pada tahap operasional formal. Mereka mulai mampu berpikir secara logis dan reflektif.