Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suatu Pagi Bersama Cantika

7 Maret 2024   08:31 Diperbarui: 7 Maret 2024   08:35 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pagi itu kulihat Cantika tengah berada di perpustakaan. Namanya cantik, secantik orangnya. Aku menyukainya, masih sebatas suka saja. itu karena tertarik melihat gaya dan gerak-geriknya. Bagaimana dengan pandangannya tentang kehidupan? Wah...masih terlalu dini hal itu untuk diketahui. Lagipula, aku masih sebatas suka, belum jatuh cinta. Tapi, pagi ini ia berada di perpustakaan sendirian ditemani gawai-gawainya. Aku tak akan melewatkan kesempatan untuk mengajaknya berbincang.

            "Kamu, mengapa sendirian terus?"tanyaku sambil berlagak memilih sebuah buku menuju kelompok buku filsafat. Sengaja kupilih buku lebih tebal daripada buku yang tengah dibacanya.

            "Memang mengapa kalau sendirian?"sahutnya dengan nada  ketus tanpa menoleh ke arahku. Tatapannya masih berada di buku yang dibacanya seolah kertas tersebut lebih tampan dariku. Huh! Aku sedikit kesal. Belum tahu ya, siapa aku? Aku adalah calon player dengan memanfaatkan aji mumpung. Mumpung banyak wanita akan kelabakan ketika dianggap tak laku-laku. Aku tentu saja tak akan melewatkan keberuntungan ini. Ada pendapat yang mengatakan bahwa memanfaatkan aji mumpung adalah raja tega, namun aku berpendapat lain. Jika hal itu memang privilege untukku, mengapa tidak dimanfaatkan? Akan halnya orang lain menderita karenanya, salah sendiri mengapa hidup di wilayah yang masih memanfaatkan privilege.

            "Jangan selalu sendirian. itu tidak bagus bagi perempuan,"lanjutku sambil duduk di depannya menikmati komposisi wajahnya yang serasi antara bentuk mata, alis, hidung, bibir dan wajahnya. Semua terbingkai dengan manisnya dan enak dipandang, ditemani dengan gerai rambutnya yang sebahu. Ia tiba-tiba saja mendongak ke  arahku yang seolah bengong menatap wajahnya.

            "Mengapa menatapku segitunya."

            "Kamu tampak sangat manis."


            "Hmmm...tak ada orang jelek. Yang ada hanyalah orang yang menyebalkan karena ulahnya,"sahutnya sambil tetap menatap kembali halaman-halaman bukunya.

            "Mengapa Kamu selalu sendirian?"kembali pertanyaanku kuulangi. Aku kesal juga melihat sikapnya yang sok cuek.

            "Tidakkah Kamu kesepian?" lanjutku mencoba menarik perhatiannya.

            "Buku-buku di sini belum tuntas kubaca. Bagaimana mungkin aku kesepian?"kilahnya.

            "Tapi lain. Mereka tidak dapat bermesraan."

            "Untuk apa bermesraan kalau tidak tulus. Malah menyakitkan,"sanggahnya lagi.

            "Kemarin malah ada quotes yang kudengarkan sambil lalu. Tapi boleh juga, meskipun hanya satu yang kuingat. Katanya begini,'Tak  ada wanita mati karena kesepian, tapi betapa banyak wanita mati karena salah pilih pasangan. Adakalanya karena KDRT, kekurangan ekonomi padahal ada anak, dan lain-lain. Bagaimana pendapatmu?" ia menatapku menunggu jawabanku. Aku terkejut dan sebelum sanggup menemukan jawaban sanggahan, aku segera mengiyakan daripada dianggap telmi alias telat mikir.

            "Kamu membaca apa sih, sesibuk itu?"tanyaku akhirnya, sekadar mencairkan suasana yang menegangkan.

            "Membaca teori multiple intelligences. Aku kebingungan karena belum jelas alat ukur untuk membedakan antara kecenderungan atau minat, kecerdasan, dan keterampilan."

            "Hmm... aku jadi ingat pengalamanku dengan temanku nih. Kami sama-sama belajar matematika. Secara teori multiple intelligences, ia memang termasuk cerdas matematik, sedangkan aku termasuk cerdas naturalis. Ketika mengerjakan matematika dan jawabanku salah, itu bukan karena aku tidak memahami rumus dan cara kerjanya. Aku salah hanya pada hasil akhirnya, keliru menghitung. Demikian pula ketika aku bersibuk dengan hewan peliharaanku yang kutekuni dengan sepenuh kasih sayang lalu menghasilakan uang, ia pun mengatakan bukannya ia tidak sayang binatang, bukannya ia tak bisa menerapkan teori yang kuajarkan. Tapi, ia lebih enjoy ketika mengerjakan matematika. Bagiku, itu bukan kecerdasan tapi peminatan,"kataku beruntun.

            "Teori-teori memang ada kelemahan di samping kelebihan. Demikian pula teori temuan psikolog dari Universitas Harvard di USA, Howrad Gardner ini. Ini bagian dari kelemahannya mungkin, selain kelebihannya yang tidak lagi mengatakan hanya orang cerdas matematika dan bahasa saja yang dianggap cerdas karena bisa diandalkan dalam mengerjakan laporan. Peminat kesibukan lain pun dianggap cerdas. Ada kecerdasan naturalis, spasial, matematik, linguistic, musical, interpersonal, intrapersonal, kinestetik, eksistensial."

            "Lalu apa yang disebut cerdas dalam KBBI?" akhirnya aku pun larut dalam percakapan dengannya, meskipun sambil menoleh ke kiri dan ke kanan, karena aku tengah naksir Deandra, anak pindahan dari Jakarta.

            "Membaca dari KBBI online,ya,"katanya sambil membuka gawainya,"Kecerdasan kurang lebihnya begini.  Hal yang berkaitan dengan perbuatan mencerdaskan, kesempurnaan akal budi, kepandaian dan ketajaman pikiran. Itu pun meliputi cerdas emosi dan spiritual yang berkaitan dengan hati nurani, dan  cerdas inteletual yang berkaitan dengan pemberdayaan otak."

            "Lalu, apa bedanya dengan tes IQ?"

            "Penemu teori berbeda. Tes IQ disampaikan Alfred Binet awal abad 20-an. Tes tersebut digunakan untuk mengukur kemampuan kognitif. Yang digunakan ilmu-ilmu matematika dan bahasa, kecepatan mempelajari hal-hal baru, aspek penyimpanan memori, pemrosesan visual dan kemampuan bernalar."

            "Hasilnya ada tingkatannya lho,"lanjutnya,

            "69 ke bawah dianggap fungsi intelektualnya rendah. 130 ke atas disebut very superior. Tes tersebut pun tidak dapat dianggap sebagai penentu kecerdasan, karena terfokus kepada aspek kognitif. Pada kenyataannya, kecerdasan seseorang bukan hanya ditentukan pada kemampuan logika dan penalaran. Ada juga orang yang lebih cerdas kreativitasnya, spiritualnya, empatinya, dan  sosialnya.  Untuk kecerdasan tersebut belum dapat diukur menggunakan tes IQ. Lagipula skor tes IQ bisa berubah-ubah bergantung lingkungan, akses pendidikan, juga waktu. Lagipula otak manusia pun telah berevolusi menjadi sedemikian kompleks, sehingga tes IQ bisa saja menjadi tidak relevan. Selain itu, manusia pun bisa memiliki beberapa kecerdasan, kan?"

            "Lagipula, IQ tinggi juga tidak berarti terbebas dari gangguan mental jika kecerdasan emosi dan spiritualnya kurang terasah. Untuk emosi pun belum ada alat ukur yang pasti,"kataku sambil membuka gawai dengan cepat, sebelum ia yang mengatakannya. Aku masih tidak segera beranjak dari perpustakaan padahal sudah jam istirahat, jadwalku untuk melakukan PDKT kepada Deandra.

            "Lalu, cara apa yang akurat untuk meningkatkan kecerdasan spiritual, emosi, dan kognitif?"tanyaku.

            "Mengapa harus ditanyakan sih? Tentu saja dengan pembiasaanlah. Membiasakan diri mengasah empati, mau memahami perasaan orang lain, mengasah rasa kasih sayang, tidak lagi bercita-cita menjadi player...

            "Lho, kok menyindir sih?"tanyaku sambil tersenyum-senyum merasa tersentil.

            "Siapa yang menyindir? Kamu saja yang merasa tersentil. Dasar tengil,"katanya sambil tertawa.

            "Pembiasaan untuk cerdas kognitif, apa saja, selain ngendon di perpustakaan seperti Kamu sepagi ini?"

            "Banyak tentunya. Ada bermain catur, bermain gitar, belajar bahasa asing...

            Bel masuk pun berbunyi. Kami segera beranjak dari perpustakaan menuju kelas masing-masing. Anehnya, aku menuju kelas sambil terbayang-bayang Cantika, terlebih kata tengil yang dilontarkan kepadaku, membuatku penasaran untuk membuktikan bahwa aku tidak begitu.

Dokpri
Dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun