Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Biarkan Kunikmati Pedihku dengan Caraku

15 April 2021   08:59 Diperbarui: 15 April 2021   09:15 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hah, player? Istilah apalagi yang akan dibebankan kepadaku? Aku membiarkan amarahnya mengaduk-aduk telinga dan kepala meskipun kepalaku mendadak pusing. Aku bisa memaklumi amarahnya, namun seperti biasanya, omelannya itu memasuki telinga kanan lalu pelan tapi pasti akan menguap melalui telinga kiri. Begitu pula senja itu, ketika kami berdua di sebuah kafe.

Kami memang dekat sejak SMA. Ia bahkan kakak kelasku, tapi kebiasaannya yang suka bermanja kepadaku misalnya minta ditemani ke sana kemari, membuatku iseng menembaknya. Di luar dugaan, ia tidak menolak. Yakh...akhirnya jadian deh.

Aku merasa mencintainya seperti dirinya kepadaku, bahkan saat ia sudah mahasiswa semester satu sedangkan aku masih SMA kelas tiga, kami tetap dekat. Akhirnya aku lulus SMA dan kuliah juga seperti dirinya. Jurusan yang kupilih dan membuatku lolos seleksi pun tidak main-main. Jurusan di sebuah fakultas dari Perguruan Tinggi yang terkenal pula di Australia.

Akan tetapi, nasib memutuskan lain. Ini ujian, kata ustaz. Hm...ujian? Betul. Tuhan tidak akan memberikan cobaan jika kita tidak sanggup menerimanya. Aku termenung mencerna nasihat beliau sambil duduk menekuk lutut dan daguku bertumpu di atasnya. Aku tengah duduk di tepi parit di depan rumah saat itu. Dalam posisi seperti itu, aku pun sesekali melemparkan kerikil ke dalamnya. Ikan-ikan kecil tampak hilang timbul terbungkus warna parit yang kecoklatan tidak lagi jernih pada musim hujan kala itu.

"Mengapa Kamu berpaling?" tanyaku senja itu setibaku di tanah air. Sisa hujan menempel di rambutnya yang tergerai sebahu. Badannya sedikit menggigil ketika turun dari boncengan motorku.

"Media sosialmu tidak aktif. Aku panik,"sahutnya sambil duduk di teras. Suasana masih menyiratkan kedukaan meskipun kami sudah kembali dari pemakaman dan bertemu dengannya yang begitu saja duduk di boncenganku. Beberapa puntung rokok masih tersebar di halaman rumah. Ia pun segera mengambil sapu lalu membuangnya ke tempat sampah, setelah itu kembali duduk di sebelahku.

"Aku masih beradaptasi dengan situasi dan kondisi. Seharusnya mengertilah,"jawabku benar-benar kecewa.

"Tapi itu sudah berlalu,"sanggahnya sambil menyentuh lenganku. Kubiarkan saja ulahnya, bahkan tubuhnya yang terlihat benar-benar menggigil setelah kehujanan di jalan tanpa jas hujan, kubiarkan saja. Aku pun tidak menoleh ke arahnya. Ia meraih teh hangat yang dibuatnya dari dispenser, diberikannya kepadaku, sedangkan ia minum dari gelas lainnya.

"Tapi, aku masih kesal,"jawabku sejujurnya, lalu mengantarnya pulang.

Sejak saat itu, aku memang masih tidak ingin menghubunginya. Setelah ayah meninggal, ibuku memintaku kembali ke tanah air dan berkuliah di tanah air juga. Sesuatu yang tidak dapat dibantah. Hal yang membuatku kecewa dan nyaris putus asa. Akan tetapi, masalah memang tidak akan terselesaikan dengan hanya termenung dan termenung di tepi parit. Sesuatu yang kian melelahkan.

Aku pun membuka media sosial dan mengunggah prestasiku ketika kuliah. Beberapa ucapan selamat dari beberapa teman perempuan bermunculan. Hm...gumamku sambil membalas ucapan selamat mereka dengan ungkapan terimakasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun