Mohon tunggu...
Kinanthi
Kinanthi Mohon Tunggu... Guru - foto

Seseorang yang meluangkan waktu untuk menulis sekadar menuangkan hobi dengan harapan semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dua Lelaki di Keremangan Malam

17 Maret 2021   08:03 Diperbarui: 17 Maret 2021   08:09 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kedua lelaki itu pun bertemu di tempat yang dijanjikan. Lelaki pertama berkemeja putih sepertinya baru pulang dari tempat kerja. Lelaki yang baru datang mengenakan jas berwarna hitam. keduanya pun saling berdiri dan bersalaman. Lelaki pertama menyilakan duduk dan segera menyodorkan daftar menu yang diberikan oleh pramusaji.

            "Silakan, Mas. Kopi? Makan apa?" lelaki berbaju putih menawari. Yang ditawari mengucapkan terimakasih sambil menjawab,

            "Teh saja, Mas. Tidak usah makan, saya ada janji makan di luar bersama isteri. Isteri saya sudah menunggu."

            "Oh. Ya sudah. Saya hanya ingin mendengar kabar bagaimana perkembangan ulah isteri saya, sekaligus berkenalan dengan Anda," ia berkata dengan intonasi yang diusahakan lembut dan tenang tetapi terdengar ada amarah di dalamnya.

            "Biasa saja, Mas," jawab lelaki berjas hitam.

            "Lho, biasa yang bagaimana? Bukankah terlihat di media sosial, ia komentator setia tulisan Anda? Lagaknya malah seolah memancing-mancing perhatian?"

            Lelaki yang mengenakan jas hitam untuk sesaat tidak segera menjawab. Setelah meneguk teh yang baru disajikan, ia menjawab,

            "Kebetulan ia teman SMA saya."

            Lelaki yang berkemeja putih menghela napas. Sudah cukup lama ia mendengar ulah isterinya yang cenderung genit kepada lelaki lain. Akan tetapi, selama ini ia hanya menganggap ulah itu hanyalah pembawaan alami. Kalaupun ia sesekali usil berkomentar terhadap postingan teman-temannya, ia masih bisa mengerti, mungkin hanya bergurau.

            Keadaan justru berbalik manakala ia mengamati reaksi isterinya kepada pemilik akun yang tengah berada di depannya itu. Jika postingan-postingan yang jelas bisa dipahami, bahkan jika dibaca memang bisa memotivasi semua orang atau dirinya sendiri, ia masih bisa mengerti. Akan tetapi, postingan apa pun asalkan yang mengunggah lelaki yang di depannya itu, isterinya selalu bereaksi, minimal memberi tanda suka atau jempol. Kalau saja beberapa temannya tidak mengetahuinya, ia tak akan curiga. Begitu satu dua orang mulai berkomentar tentang itu, ia pun diam-diam mencari informasi dan menganggap ini tidak bisa dibiarkan.

            "Hanya kepada postingan Anda ia bereaksi lain,"katanya tajam.

            "Wah, saya malah tidak perhatian. Tapi, Anda sejeli isteri saya. Ia pun berkomentar sama. Ia malah pernah marah-marah pada saya. Pernah melarang saya mengikuti reuni SMA gara-gara itu," lanjut pria berjas hitam tersebut.

            "Apakah ini termasuk gejala parah?" ia bertanya.

            "Sebagai lelaki, bagaimana menurut Anda?" pria berbaju putih membalikkan pertanyaan.

            "Saya malu. Saya pun tidak suka diduakan."

            "Tapi, Kami tidak melakukan apa-apa,"pria berjas hitam membela diri.

            "Maaf. Saya tahu. Maksud saya, ulah istri saya," jawab si baju putih.

            "Ada kronologi kisah yang bisa diingat? Minimal, untuk memaklumi dan memaafkan."

            "Ok,"si jas hitam mulai bercerita,"Kami pernah satu kelas sebelum penjurusan. Teman-teman menjodoh-jodohkan kami. Begitu penjurusan, saya dekat dengan isteri saya lalu kami pun menikah. Ia yang merasa lebih cantik dari isteri saya sering menyindir bahwa aku memilih isteri saya karena ia kaya."

            "Hmm...apakah karena itu, ia narsis? Kupikir untuk apa ia upload foto-foto berbagai eksyen, toh ia sudah laku? Untuk siapa foto-foto itu dipamerkan? Saya baru menemukan titik terang sekarang. Anda kerja di bank?"

            "Iya, itu dulu,"kata pria berjas hitam.

            "Sekarang?"

            "Kerja serabutan."

            "Masak sih?"

            "Dulu,  kerja di bank. Lalu saya merasakan kejenuhan. Saya lalu mencoba kesibukan sebagai motivator. Semula membuat brosur-brosur untuk memberikan seminar bersama teman-teman sekolah yang kuliah di berbagai jurusan. Akhirnya keasyikan dan saya jalani sampai sekarang."

            "Sudahlah, nggak usah dicemburui teramat sangat. Masih dalam batas aman."

            "Tapi, sakitnya tuh di sini saat jelas-jelas merasa diduakan."

Lelaki yang memakai jas hitam tertawa,

            "Saya pernah memancing-mancing, kalau ingin kembali bersamaku, seharusnya berani tampil sendirian, bukan berlindung di balik suami. Takut kehilangan dua-duanya ya. Suamimu itu sabar banget. Coba saja aku diperlakukan seperti itu. kudelete. Hehehe."

            "Sabar karena nggak tahu. Atau pura-pura nggak tahu demi anak-anak," ia pun menghela napas,"Jika ia nekat dan diterus-teruskan, saya tak akan tinggal diam."

            "Masih aman Mas. Yang sabar. Maaf, sesekali saya memancing-mancingnya. Tapi sungguh, nggak berniat lebih jauh. Bagaimanapun, kita sama-sama lelaki. Aku hanya penasaran bagaimana kondisi rumah tangganya sehingga ia tidak bisa move on? Kurasa saat SMA dan tahu aku bersama isteriku, ia tak acuh. Tapi begitu ketemu saat reuni, ia teringat kembali masa itu. Ia seolah sangat kecewa aku benar-benar melupakannya yang kecantikan dan fisiknya bak model itu."

            "Betul. Ia terobsesi pada kecantikan dan fisiknya bagaikan narsisus. Ia seolah kecewa manakala ada lelaki yang mengabaikan kecantikannya. Ia pun berulah memancing-mancing. Yang mengeluh suami kelewat sibuklah. Lho...memang uang datang sendiri? Tinggal mencetak? Jika tidak sibuk, darimana aku dapat uang? Padahal semua uang kuberikan kepadanya. Ia pun bisa berdandan ala artis internasional, yang malah semakin membuatnya seolah menggila dalam mengunggah penampilannya."

            "Betul. Tempo hari ia upload fotonya yang kata teman-teman mirip artis Priyanka Copra. Yang dikenakannya serba mahal dan bermerk pula. dalam hati aku bertanya-tanya, sabar banget suaminya? Kalau aku suaminya tentu sudah kusembur." Si hem putih tertawa.

            "Aku berusaha sabar karena ingin tahu sasaran yang dituju. Saya pun tidak bodoh. Ternyata sasarannya Anda,"ia tertawa,"Anda tidak pernah memuji penampilannya?"

            "Tidak,"kata pria berjas hitam tersebut.

            "Untuk apa mengundang masalah? Bagaimana jika menjadi bahan gunjingan dan prasangka buruk?" lanjutnya.

            "Betul. Kurasa, selagi Anda tidak pernah memujinya dan berkomentar terhadap hasil unggahannya, ia masih saja penasaran pada Anda."

            "Padahal ia sudah punya suami setampan Anda,"ujar pria berjas hitam itu.

            "Anda juga tampan sih."

            "Lalu apa maunya? Ingin dilihat banyak orang bahwa ia sanggup membuat kita, pria-pria tampan ini bertekuk lutut pada kecantikannya yang mirip artis Priyanka Copra?"

            "Entahlah,apa maunya."

            "Cobalah ajak diskusi yang agak-agak berat. Selama ini postingan-postingannya acara yang happy-happy ala pesta selebriti kan?  Makan di resto mewah, jalan-jalan di tempat wisata mahal, baju-baju indah. Nggak tahu dia betapa kita para lelaki bekerja keras untuk kemewahan si cantik itu. Jika kecewa kemauannya tidak dituruti, mengatai aku memilih isteriku karena kaya. Wah...lha ia kaya karena berhemat kok,"kata si jas hitam tertawa dan disambut tawa si hem putih.

            "Bagaimana ini? Aku kesal ia mendua...

            "Uf. Jangan Pak. Wanita bisa dikatakan mendua jika ia selingkuh. Aku tidak merasa selingkuh. Aku hanya jahil saja. sesekali memancing-mancing ingin mengetahui apa tujuannya."

            "Menurut Anda apa tujuannya?"

            "Anda sebagai suami telah melimpahi harta lebih dari cukup bukan?"

            "Tentu saja. jam segini kita belum pulang. Cari uang."

            "Berarti ia haus perhatian. Sesekali deh, atau setiap hari, jika ia upload foto-foto, anda komentari, duh cantiknya Priyanka Chopraku...

            "Walah Pak. Boro-boro memuji, aku juga sama dengan Anda. Ingin marah dan melarangnya narsis-narsis kelewatan begitu."

            "Ya sudah. Coba diingatkan dengan halus. Wanita kalau cinta, nggak usah diingatkan secara lisan, ia tentu paham kode-kode lelaki. Toh, lelaki di dunia ini sama. Tidak ada yang mau diduakan dan pencemburu pula."

            "Itulah yang belum kukatakan kepadanya. Baiklah, akan kucoba. Terimakasih, sudah meluangkan waktu untuk saya." Mereka pun berjabatan erat sebelum saling pulang menuju rumah masing-masing.

Sidoarjo, 13 Januari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun