"Aku ikut siapa? Bukankah banyak perempuan yang nekat saja seolah memandang sebelah mata kepadaku? Kamu memang tak pernah menutupi sudah punya isteri, tapi mereka merangsek maju tanpa mau tahu keberadaanku. Betapa sakit hatiku. Tahu nggak, aku sering menangis dan terbangun malam-malam karena ulah mereka,"tangisku semakin tercurah tanpa sisa agar hatiku merasa lega setelah memendam siksa dan prasangka sekian lama.
"Padahal aku selalu pulang. Mengapa Kamu memendam curiga dan meragukan ketulusanku sekian lamanya? Tidak terasakankah kasih sayangku? Cintaku?" katanya sambil memeluk bahuku.
"Semakin terasakan semakin membuatku iba, aku merasa sangat egois jika mempertahankanmu demi perempuan lain yang lebih sempurna. Aku pun mempersiapkan mental merelakan dan meninggalkanmu. Aku akan menyertai anak-anak...
"Kamu isteriku. Selamanya harus bersamaku. Harus ikut aku,"tandas kata-katanya, yang dibuktikan dengan semakin melarangku mengerjakan kesibukan di rumah jika hal itu membuat kakiku yang setengah pincang ini kesulitan melangkah. Tuhan, terimakasih. Mimpi atau nyatakah yang kualami? Tangisku malam-malam saat aku terbangun untuk melakukan salat malam dengan syukur yang menjalari seluruh tubuh. Tubuh yang membuat suamiku tetap mencintaiku apa adanya.