"Elisa. Kamu masih tetap saja seperti dulu. Tahukah Kamu, aku selalu merindukanmu?" meluncur begitu saja ucapan itu dari bibirnya seolah tanpa dipikirkan dampaknya.
Hati kecilku pun menganggapnya hanya gurauan. Akan tetapi, entah kejenakaan bola matanya ataukah  ucapan walau asal saja, tapi tak pernah kudengar dari bibir suamiku, mengapa terasakan begitu indah?
      "Roni, mengapa di sini?" tanyaku menyambut uluran tangannya.
      "Kamu juga masih ganteng,"jawabku malu  pada anak lelakiku yang duduk manis di sebelahku. Roni  tidak segera melepas jemariku dari genggaman tangannya.
      "Ini anakmu? Tampan juga, seperti bapaknya,"komentarnya ganti menyalami anakku.
      "Aku juga menemani anakku. Bukankah kita menikah hampir bersamaan? Kamu di bulan Syawal dan aku Besar? Dua bulan setelah kamu disabot si Broer, aku langsung menikahi pacarku,"jawabnya beruntun.
Ada gurat terharu sekilas. Sejauh itukah ia mengenang  masa lalu itu? Masa- masa kami berteman sebagai penghobi fun bike? Suamiku, Roni, aku, dan Lala, pacarnya.       "Bukan disabot. Kamu sih, kelamaan nggak segera mengajak nikah. Begitu Broer melamarku,ya okelah. Lagipula  Kamu kan sudah punya pacar. Lala mau dikemanakan?" jawabku sambil duduk di sampingnya.
      "Anakmu di mana?"
      "Dia menari nanti. Lihat saja, ia cantik seperti...
      "Seperti ibunya? Lala cantik banget, Jack. Bagaimana mungkin kamu merasa tertarik lagi kepadaku?"
      "Kamu low profile," gombalnya lagi, membuatku tersipu.