Hari masih pagi harapan masih indah. Menjelang sore sinar matahari mulai redup. Semangat bekerja mulai surut. Hanya secangkir kopi hitam campur gula di seduh air hangat yang masih terasa enak.
Teman sekantor masih sibuk dengan tugas yang belum usai. Padahal sebentar lagi jam kerja akan selesai. Tidak ada kerja lembur selama tiga bulan karena penghematan anggaran operasional.
Wajah serius tampak tidak peduli dengan apa yang terjadi di dekatnya. Wajar saja karena otak mereka sudah penuh dengan disain taktis untuk mencapai garis kemenangan. Namun karena nasib memang di atur Tuhan, revolusi level of live tidak terjadi.
Ya itulah nasib alias takdir yang di buat oleh pencipta sekaligus penguasa alam semesta. Setinggi apapun gelar sekolah, sehebat apapun ilmu yang ada toh nasib bisa jalan di tempat. Â Â Â Â Â
Beberapa hari yang lalu  di media elektronik ramai di beritakan tentang pengungsi muslim dari negara beragama. Ada  negara dengan satu agama, ada juga negara dengan lebih dari satu agama.
Mereka tidur beralas tikar namun beratap langit. Dengan membawa keluarga tercinta mereka hijrah untuk mendapatkan harapan yang harus lebih baik dari tanah kelahiran.
Jarak negara kelahiran sampai tiba di tanah harapan tentu sangat sangat jauh. Dari tanah derita mereka menggunakan cara apapun agar segera tiba di surga dunia. Mereka menjual harta  yang ada seperti rumah, kebun, ternak, kendaraan dan entah apa saja bisa di jual yang penting ada uang.
Perlu waktu berbulan-bulan dengan taruhan nyawa melayang. Melewati jalan darat dengan ancaman dari orang jahat. Menyeberang laut mengunakan kapal dengan kehebatan yang apa adanya, ombak-ombak tinggi, angin kencang, binatang laut yang buas siap menyantap mereka sebagai menu ternikmat.
Lalu apa alasan yang masuk akal kenapa mereka harus menerima keadaan yang sangat menyedihkan ini?
Jika di perhatikan negara asal para pengungsi muslim bukanlah negara yang miskin sumber daya alamnya. Disana ada tambang minyak, ada tambang emas, tanahnya subur sehingga apapun yang ditanam pasti menjadi panen besar.
Namun ada suara kejujuran dari para pengungsi yang pernah tidur di trotoar jalan Kebon Sirih Jakarta pusat.