Saya pernah mendengar seseorang berkata dengan nada kesal, "Saya lagi gabut, tau?" Kalimat itu terdengar seperti pembelaan, seolah sedang gabut adalah kesalahan moral yang butuh klarifikasi publik. Kita hidup di masa ketika diam harus diberi penjelasan, dan istirahat dianggap bentuk kemalasan terselubung.
 Gabut, yang dulu cuma berarti "nggak ngapa-ngapain," kini berubah jadi kondisi yang bikin canggung. Seseorang yang gabut seperti merasa wajib mencari pembenaran : scroll TikTok sambil bilang, 'sekalian riset konten'; rebahan tapi tetap buka laptop biar kelihatan sibuk. Di zaman ini, bahkan waktu kosong pun dituntut punya produktivitas simbolik ---yakni, validasi eksternal agar terlihat sibuk.Â
 Namun, di balik kesan lucunya, kata gabut sejatinya menyimpan dimensi batin yang lebih dalam. Ia bukan sekadar "tidak ngapa-ngapain," melainkan bentuk kebingungan eksistensial yang halus: bingung harus berbuat apa, tidak tahu hendak ke mana, sehingga merasa kehilangan arah dan motivasi. Dalam arti ini, gabut adalah jeda antara kehendak dan tindakan ---ruang hampa yang bisa menelan, tapi juga bisa menyembuhkan. Justru dalam ruang hampa jeda inilah, terdapat potensi tersembunyi yang sering kita abaikan.Â
 Gabut Sebagai Ruang KreatifÂ
 Kalau dipikir jernih, gabut bukanlah lawan produktivitas. Ia justru ruang kosong yang memberi oksigen pada pikiran. Dalam keheningan tanpa target, imajinasi sering berjalan tanpa kendali ---dan di situlah ide-ide aneh tapi jujur bermunculan.Â
 Bertrand Russell, dalam In Praise of Idleness, pernah menulis bahwa "kegabutan" adalah sumber kemajuan peradaban. Orang-orang yang punya waktu luang untuk berpikir, katanya, justru membuka jalan bagi lahirnya gagasan besar.Â
 Tapi di era algoritma ini, waktu luang sering dianggap dosa, sebab ekonomi perhatian menuntut kita selalu engaged dan visible. Kita tidak lagi menikmati jeda; kita bernegosiasi dengannya. Gabut tidak dibiarkan menjadi hening, melainkan buru-buru diisi dengan scroll, chat, dan self-improvement video. Kita ingin tampak sibuk bahkan ketika sedang bosan, seolah kebosanan itu tanda kegagalan eksistensial.Â
 Padahal, gabut bisa jadi semacam meditasi spontan : waktu di mana otak berhenti berlari, dan batin punya ruang untuk menyimak dirinya sendiri. Banyak ide, refleksi, bahkan penyadaran diri lahir bukan di tengah rapat atau target kerja, melainkan di sela gabut yang tak direncanakan.Â
 Antara Hening dan ProduktivitasÂ
 Di titik tertentu, gabut dan hening hanya dipisahkan oleh cara pandang. Yang satu dianggap mandek, yang lain dianggap sadar. Kuncinya adalah penerimaan (acceptance).Â
 Gabut bisa berubah menjadi hening ketika seseorang berhenti menolak kebingungannya dan mulai mendengarkan apa yang sebenarnya terjadi di dalam dirinya. Hening tidak selalu berarti sunyi secara fisik, melainkan ketenangan yang lahir dari penerimaan : bahwa tidak semua hal harus segera diisi, dan tidak setiap waktu kosong harus dibenahi.Â