Salam!
Sejak lama, lirik Iwan Fals, "Keinginan adalah sumber penderitaan," terasa sebagai melodi yang indah, namun maknanya masih jauh dari jangkauan. Barulah ketika saya dikhianati oleh seorang kawan, kalimat itu menghentak menjadi sebuah kesadaran. Reaksi awal saya adalah badai kemarahan dan kesedihan. Namun, melalui perenungan yang sunyi, saya menyadari bahwa rasa sakit yang sesungguhnya bukan disebabkan oleh tindakan pengkhianatan itu sendiri. Penderitaan saya, ternyata, berakar pada keinginan saya yang melekat agar kawan itu tidak berkhianat---sebuah harapan yang menabrak kenyataan.
Inilah titik balik yang memaksa saya mencari pemahaman yang lebih dalam. Kedewasaan batin sejati, saya pikir, tidak ditemukan dalam menghindari luka, melainkan dalam mengisolasi sumber penderitaan itu. Proses ini menuntut komitmen untuk mengenali akar keinginan, mempraktikkan penerimaan aktif terhadap realitas, dan mengubah luka menjadi catatan penting untuk masa depan.
Mengenali Akar Penderitaan
Langkah pertama menuju kedewasaan batin adalah dengan jujur menelanjangi sumber penderitaan. Pengkhianatan adalah tindakan eksternal yang berada di luar kendali kita. Penderitaan kita, yang bermanifestasi sebagai kekesalan atau kepahitan berkepanjangan, adalah respons internal terhadap ketidakcocokan antara harapan dan kenyataan.
Dalam bahasa Buddha, inilah dukkha---penderitaan yang muncul karena kemelekatan (tanha) pada sesuatu yang tidak kekal. Kita menderita karena kita melekat pada harapan bahwa kawan harus setia, hubungan harus sempurna, dan dunia harus berjalan sesuai kehendak kita. Padahal, sebagaimana diingatkan Epictetus, "Yang menyakitkan bukan peristiwa itu sendiri, melainkan penilaian kita terhadapnya." Dengan mengakui bahwa kita tidak dapat mengontrol tindakan orang lain, kita sesungguhnya sedang mematikan sebagian besar bahan bakar penderitaan.
Kekuatan Penerimaan Aktif