"Kau tahu, matahari tak lagi tegak lurus di ubun-ubun.Dan bayanganmu terus memanjang menjengkal tanah."
Di ujung setiap kekuasaan, bayangan seorang penguasa memanjang. Bukan karena kekuatannya bertambah, melainkan karena matahari kejayaannya kian tenggelam. Sebuah metafora sederhana, tetapi mengandung kebenaran universal: kekuasaan itu fana. Seberapa kuat ia digenggam, pada akhirnya hanyalah titipan yang akan kembali.
Sejarah berulang kali membuktikan: tak ada dinasti, kekaisaran, atau rezim yang abadi. Dari Romawi Kuno hingga kekaisaran Asia, dari rezim totaliter abad ke-20 hingga negara-negara modern, semuanya runtuh pada waktunya. Lord Acton telah lama mengingatkan, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely."
Bahaya muncul ketika penguasa terjebak dalam ilusi tirani---ambisi yang membutakan. Mereka menutup ruang kebenaran, menanamkan ketakutan, dan menciptakan stabilitas palsu. Fondasi yang dibangun tampak kokoh, tetapi sejatinya rapuh karena kehilangan legitimasi rakyat. Caligula di Roma, Hitler di Jerman, bahkan Orde Baru di Indonesia menunjukkan bahwa kekuasaan yang ditegakkan dengan penindasan justru menggali kuburnya sendiri. Hannah Arendt menegaskan dalam The Origins of Totalitarianism (1951): tirani bertahan bukan karena kekuatannya, melainkan karena ketakutan. Dan ketakutan selalu rapuh; begitu rakyat menemukan suara, rezim runtuh.
Namun kekuasaan tidak hanya bertahan lewat paksaan. Antonio Gramsci dalam Prison Notebooks (1929--1935) menunjukkan bagaimana hegemoni dibangun melalui budaya dan ideologi, membentuk kesadaran masyarakat. Karena itu, perubahan sejati selalu lahir dari perlawanan terhadap hegemoni. Di sinilah generasi baru berperan: belajar dari luka masa lalu, menyimpan ingatan kolektif---seperti ditegaskan Maurice Halbwachs (1992)---yang tumbuh menjadi bahan bakar perubahan, bunga yang mekar di tengah reruntuhan tirani.
Meski begitu, sejarah memberi penguasa pilihan. Ia bisa terus memelihara ambisi zalim, atau memilih jalan transformatif---menjadikan kekuasaan sebagai amanah etis. Nama Nelson Mandela menjadi teladan: dari tahanan politik ia beralih menjadi simbol rekonsiliasi, menolak dendam demi perdamaian. Ia membuktikan bahwa kekuasaan dapat digunakan untuk merajut kembali tatanan sosial yang robek.
Akhirnya, semua berpulang pada "keadilan sejarah." Luka yang ditorehkan tirani akan tetap tercatat, baik dalam arsip maupun dalam ingatan publik. Pierre Nora (1989) menyebutnya lieux de mmoire---ruang-ruang ingatan yang melawan lupa. Penguasa boleh berusaha menutupinya, tetapi waktu tidak pernah lalai mencatat luka.
Siklus kekuasaan akan terus berputar---dari kejayaan menuju senja, dari tirani menuju harapan. Namun benih kebenaran yang ditanam generasi muda akan selalu menemukan jalannya, menunggu saat matahari terbit kembali, menyingkap segala yang pernah disembunyikan. Dan harapan bukanlah sekadar menanti terbitnya matahari, melainkan berani menyalakan cahaya dari diri sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI