Mohon tunggu...
Nandang Darana
Nandang Darana Mohon Tunggu... Pegiat di Ruang Belajar Masyarakat

Hobi menulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Nature

Debu yang Mengingat: Luka Alam, Luka Kita Semua

10 Agustus 2025   07:27 Diperbarui: 10 Agustus 2025   07:27 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pernahkah Anda berjalan di jalanan yang berdebu, lalu merasa ada sesuatu yang diam-diam mengawasi langkah Anda? Bukan orang, bukan juga hewan --- tetapi debu itu sendiri, yang seakan menjadi saksi bisu perjalanan kita.

Bagi sebagian orang, debu hanyalah tanda kemarau atau infrastruktur yang belum sempurna. Tapi bagi saya, debu adalah arsip yang mencatat jejak, baik dari alam maupun manusia. Ia merekam siapa yang menanam pohon, siapa yang menebangnya; siapa yang menjaga tanah, dan siapa yang membiarkannya kering kerontang.

Alam Bukan Sekadar Latar

Kita sering memposisikan alam hanya sebagai latar cerita --- panggung yang menunggu dimainkan manusia. Padahal, alam adalah pemeran utama yang merasakan luka. Pohon yang ditebang tanpa ganti tanam, sungai yang dibendung hingga alirannya berubah, atau hutan yang dilalap api --- semua itu bukan hanya kerusakan fisik, tapi juga gangguan keseimbangan batin kita sebagai manusia yang hidup di dalamnya.

Ada penelitian dalam ekologi eksistensial yang mengatakan: manusia dan alam adalah satu kesatuan. Luka pada pohon adalah luka pada manusia. Mungkin itu sebabnya, di tempat yang hutannya gundul, rasa cemas warganya ikut meninggi; di kota yang pepohonannya jarang, detak jantung warganya terasa lebih cepat.

Kehilangan yang Tak Pernah Usai

Kerusakan alam juga punya wajah melankolia --- kehilangan yang tidak selesai dalam satu waktu. Sungai yang dulu jernih, suara burung di pagi hari, teduh pohon besar di pinggir jalan --- semua itu masih ada di ingatan, tapi tidak di hadapan. Ia terus hidup dalam kenangan, membuat kita merasa seolah kehilangan itu hadir setiap hari.

Melankolia ini membuat kita membaca halaman yang sama berulang-ulang. Setiap kali kita melewati jalan berdebu, kita sedang membuka kembali bab tentang kehilangan yang sama, tanpa sadar sedang ikut menjalani upacara perkabungan yang tak pernah rampung.

Luka dan Kelahiran yang Saling Mengandung

Meski begitu, kehidupan selalu mengandung paradoks: dari luka, kadang lahir kehidupan baru. Pohon tumbang memberi ruang cahaya untuk tunas-tunas baru. Seekor ulat yang memakan daun adalah perusak, tapi juga calon kupu-kupu.

Persoalannya, apakah kita membiarkan proses ini berjalan alami, atau justru mempercepat kehancuran hingga siklus itu kehilangan keseimbangannya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun