Premis dasar saya adalah ide atau gagasan kita harus ditulis dan akan menjadi jejak pertarungan pemikiran yang abadi.
Sebagai contoh, salah satu tokoh dunia dan sekaligus ulama besar yang saya kagumi adalah Imam-Ghazali, dunia mengakui hasil karya keilmuannya tetap relevan menjadi rujukan saat ini.
Satu bagian tulisan dari Imam Al-Ghazali yang selalu terngiang bagi saya sekaligus menjadi inspirasi besar bagi kita semua adalah "Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis".
Jika hal tersebut saya teruskan logikanya maka artinya jika kita tidak menuliskan ide atau gagasan dalam bentuk tulisan, maka pemikiran kita hanya akan bermanfaat untuk diri sendiri dan hilang ditelan pusaran sejarah.
Oleh karena itu, kita harus menuliskan ide atau gagasan kita secara tertulis agar bisa terus dibaca dari generasi ke generasi. Bukan malah berpikir sebaliknya.
Selain itu tulisan yang tidak teratur dapat menunjukkan bahwa pemikiran kita yang belum teratur. Jika tulisan kita belum sepenuhnya berkembang, itu bisa menunjukkan bahwa kita belum sepenuhnya mengembangkan pikiran.
Nah, dengan menulis kita akan meningkatkan cara kita berpikir tentang topik yang kita kuasai dan membantu kita menjelaskan dengan bahasa yang sederhana kepada orang lain.
Apa Yang Harus Dilakukan
Hal yang saya sharing melalui artikel ini bisa jadi tidak cocok dengan setiap orang. Saya yakin setiap orang mempunyai cara masing-masing untuk berkarya.
Nah, selama saya menulis di Kompasiana ada beberapa hal yang saya pelajari sekiranya bisa menjadi bahan dialektika pemikiran sebagai berikut:
1. Memahami ada perbedaan besar antara minat dan kapasitas
Memahami bahwa ada perbedaan mendasar antara minat dan kapasitas menulis bagi saya merupakan langkah awal untuk mengurangi efek samping ekspektasi.
Saya peminat bola, film, senang berjalan-jalan, membaca cerpen dan kuliner, namun bukan berarti saya mempunyai kapasitas untuk menuliskan hal-hal itu semua.