Oleh: Â Nanda Alvionita Sari
Di sebuah ruang kelas terbuka di Jakarta, seorang imam bernama Romo Carolus berbicara lantang: "Demokrasi bisa mati jika nurani disingkirkan dari politik." Pernyataannya mengguncang para peserta yang hadir. ketika dunia masih bergulat dengan krisis iklim, ketimpangan ekonomi, dan konflik geopolitik, pertanyaan tentang peran iman dalam kekuasaan kembali mengemuka. Bagaimana agama sebagai sumber moral bisa berdialog dengan politik yang kerap dipenuhi kepentingan pragmatis? Apakah iman hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan, atau justru bisa menjadi penjaga integritas?
Sepanjang sejarah, kekuasaan kerap bersandar pada narasi spiritual. Nabi Yusuf, misalnya, menjadi contoh bagaimana integritas iman bisa mengubah nasib seorang budak menjadi pemimpin yang menyelamatkan Mesir dari kelaparan. Kisah ini diabadikan dalam Al-Qur'an sebagai simbol bahwa kekuasaan yang dibangun atas ketakwaan mampu melampaui kepentingan pribadi. Di Nusantara, nilai gotong royong yang dilandasi kepercayaan pada Tuhan menjadi fondasi kebangkitan bangsa melawan penjajahan. Namun, sejarah juga mencatat kegelapan ketika iman disalahgunakan. Fir'aun, penguasa Mesir kuno, menggunakan ilmu dan kekuasaannya untuk mengklaim diri sebagai Tuhan. Al-Qur'an menggambarkannya sebagai sosok yang "sombong" dan "menzalimi rakyat". Kisah serupa terulang di era modern. Di Indonesia, korupsi yang mencapai angka kuadriliun rupiah menjadi bukti betapa kekuasaan tanpa iman bisa melahirkan kehancuran.
Tahun 2025 menjadi tahun ujian bagi banyak negara. Di Amerika Serikat, rencana deportasi massal terhadap imigran oleh pemerintahan baru memicu kekhawatiran. Kebijakan ini dinilai mengorbankan nilai kemanusiaan demi populisme politik. Sementara itu, di Indonesia, Pemilu Lokal 2024 yang baru saja berlangsung menyisakan pertanyaan: Apakah para kepala daerah terpilih benar-benar siap memimpin dengan integritas? Sebuah retret bagi 503 kepala daerah di Magelang sempat viral karena tujuannya disebut "mencuci otak" para calon pemimpin meski tujuannya sebenarnya adalah membekali mereka dengan prinsip pemerintahan bersih. Di tengah situasi ini, Romo Carolus mengkritik keras dominasi ekonomi dalam politik. "Suara rakyat kecil terpinggirkan oleh kepentingan pemodal," ujarnya. Fenomena judi online yang merajalela dan penegakan hukum yang timpang menjadi bukti nyata. Di Surabaya, misalnya, walikota terpilih Eri Cahyadi dari PDI-P dihadapkan pada tekanan untuk membersihkan kota dari praktik korupsi yang mengakar.
Pergumulan iman dan kekuasaan tidak selalu hitam-putih. Di satu sisi, agama bisa menjadi kekuatan pembebasan. Umat Muslim di Amerika, misalnya, mulai mengadopsi strategi Yahudi dalam membangun lobi politik. Mereka tidak hanya fokus pada pembangunan masjid, tetapi juga berinvestasi di media dan advokasi kebijakan untuk melawan Islamofobia dan mendukung Palestina. Di Indonesia, MUI Kota Semarang menyerukan kolaborasi sosial berbasis iman sebagai kunci menghadapi tantangan 2025. Di sisi lain, agama kerap dipolitisasi. Di Timur Tengah, konflik Israel-Hamas masih menyisakan luka. Sementara sebagian kelompok Kristen progresif di Barat mempertanyakan doktrin tradisional, gereja konservatif justru menggunakan narasi agama untuk menolak kebijakan kesetaraan gender. Di Indonesia, retorika agama kerap dikapitalisasi dalam kampanye elektoral seperti yang terjadi dalam Pilkada Jakarta, di mana isu "penistaan agama" kembali diangkat untuk meraup suara.
Lalu, bagaimana menciptakan sinergi antara iman dan kekuasaan? Kisah Nabi Sulaiman mengajarkan bahwa ilmu dan kekuasaan harus diimbangi dengan kerendahan hati. Sebelum mengambil keputusan, ia berdoa: "Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu". Di era modern, pemimpin perlu "retret spiritual" seperti yang diadakan di Magelang bukan sekadar formalitas, tetapi sebagai ruang refleksi untuk mengingat tanggung jawab moral. Romo Carolus menawarkan model dialog antara etika dan politik ala Paul Ricoeur: tidak saling menundukkan, tetapi berjalan seimbang. Contohnya, kebijakan pengentasan kemiskinan harus melibatkan komunitas agama yang paham kondisi riil masyarakat. Di Yogyakarta, Muhammadiyah aktif mendirikan sekolah dan rumah sakit sebagai bentuk kontribusi nyata. Al-Qur'an menegaskan, "Barangsiapa bertakwa kepada Allah, Dia akan memberinya jalan keluar". Di Indonesia, upaya memberantas korupsi harus melibatkan penegakan hukum yang adil dan pendidikan karakter berbasis agama. Kisah Ba'lam bin Ba'ura ahli ibadah yang tergoda dunia menjadi peringatan agar kekuasaan tidak menjerumuskan. Umat beragama perlu bersatu melawan ketidakadilan. Kampanye boikot produk pendukung apartheid Israel, seperti yang dilakukan aktivis muda Muslim dan Yahudi di AS, menunjukkan kekuatan kolaborasi. Di Indonesia, gotong royong selama pandemi COVID-19 menjadi bukti bahwa nilai keagamaan bisa menjadi motor perubahan sosial. Sebagaimana komunitas Yahudi berhasil mengubah stigma melalui investasi di media, umat Muslim perlu aktif membangun narasi yang humanis. Di Surabaya, sejumlah pesantren mulai mengajarkan literasi digital untuk melawan hoaks dan ujaran kebencian.
Di akhir kajiannya, Romo Carolus berpesan: "Iman yang tidak membumi adalah iman yang gagal menjadi terang dunia". Di tahun 2025, tantangan terbesar umat beragama bukanlah sekadar menghafal kitab suci, tetapi mewujudkan nilai-nilainya dalam kebijakan publik. Dari retret politik hingga boikot global, setiap langkah harus dilandasi kesadaran bahwa kekuasaan tanpa iman adalah kosong, dan iman tanpa aksi adalah ilusi. Seperti Nabi Yusuf yang berhasil membawa Mesir dari krisis, atau Abraham Kuyper teolog Belanda yang menjadi perdana menteri kita diajak untuk tidak takut "mengotori tangan" di dunia politik. Karena di persimpangan iman dan kekuasaan, hanya mereka yang berani berjalan dengan nurani yang akan menemukan jalan keluar.
Di balik hiruk-pikuk politik, suara generasi muda mulai terdengar lantang. Di Indonesia, organisasi seperti Gusdurian dan Youth Interfaith Peacemaker menggelar dialog lintas iman di kampus-kampus, mendorong mahasiswa untuk kritis terhadap kebijakan yang mengorbankan hak minoritas. "Kami tidak ingin jadi generasi yang hanya mengutuk kegelapan, tapi menyalakan lilin," kata Siti, mahasiswi UIN Jakarta yang aktif dalam aksi #SaveAru, gerakan menentang eksploitasi lingkungan di Maluku. Di AS, kelompok muda Kristen dan Yahudi mendirikan "Coalition for Earth Justice", menggabungkan ajaran kitab suci tentang pelestarian alam dengan tekanan politik terhadap perusahaan penyebab polusi.
Peran perempuan dalam merajut iman dan kekuasaan juga semakin tak terbendung. Di Afghanistan, di bawah rezim Taliban, perempuan seperti Zarifa Ghafari walikota termuda yang selamat dari serangan teroris tetap bersuara melalui podcast bawah tanah, menyebarkan semangat perlawanan berbasis keyakinan akan kesetaraan. Di Indonesia, Yenny Wahid putri mantan presiden Gus Dur mendorong keterlibatan perempuan dalam politik melalui gerakan "Perempuan Berdiri", yang mengutip ayat-ayat Al-Qur'an tentang keadilan gender. "Ibu Khadijah, istri Nabi Muhammad, adalah pengusaha dan penasihat politik. Itu bukti agama tidak pernah membungkam perempuan," tegasnya dalam sebuah webinar.
Di sisi lain, dunia hiburan juga menjadi medan pertarungan. Film "The Letter" garapan sutradara Indonesia, Joko Anwar, mengisahkan pertarungan seorang pastor melawan mafia narkoba yang didukung elit politik. Film ini memicu debat: apakah seni bisa menjadi medium kritik sosial tanpa dianggap menista agama? Sementara di Korea Selatan, drama "Sacred Divinity" menggambarkan perselingkuhan antara pendeta dan penguasa, memancing refleksi publik tentang penyalahgunaan khotbah untuk kekuasaan.
Tidak semua cerita berakhir optimistis. Di Eropa, partai sayap kanan yang anti-imigran semakin menguasai parlemen dengan menggunakan narasi "pertahanan identitas Kristen", meski tindakan mereka bertolak belakang dengan ajaran kasih Yesus. Di Indonesia, kasus penyerangan tempat ibadah minoritas masih terjadi, seperti insiden pembakaran gereja di Tasikmalaya awal 2025. Namun, di tengah gelap, selalu ada cahaya. Di tempat yang sama, warga dari berbagai agama bergantian jaga malam untuk melindungi gereja yang sedang dibangun kembali. "Ini negeri kita bersama," kata Pak Darwis, tokoh masyarakat setempat.
Di ujung perjalanan, Romo Carolus mengajak semua pihak merenung: "Apakah kita memilih jadi Fir'aun yang menghancurkan, atau Yusuf yang membangun?" Jawabannya, ia yakin, ada di tangan setiap individu yang berani memadukan keyakinan dengan keberpihakan pada keadilan. Sebab, di persimpangan iman dan kekuasaan, hanya hati yang tulus yang bisa menuntun kita keluar dari labirin kepentingan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI