Lima tahun kemudian, hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 justru menunjukkan kondisi yang masih mengkhawatirkan.
Prevalensi ISPA di NTT tercatat mencapai 36,3%, menempati urutan ketiga tertinggi setelah Papua Pegunungan (41,7%) dan Papua Tengah (39,4%) (Kementerian Kesehatan RI, 2023).
Angka ini memperlihatkan bahwa meskipun program kesehatan sudah berjalan, tantangan di lapangan masih besar, terutama terkait faktor lingkungan dan keterbatasan layanan kesehatan.
Penyebab tingginya angka ISPA di NTT antara lain penggunaan kayu bakar untuk memasak, ventilasi rumah yang minim, serta kondisi ekonomi keluarga yang membatasi pilihan mereka. Semua faktor ini membuat ISPA seolah menjadi “penyakit akrab” bagi anak-anak di NTT.
World Health Organization (WHO) mencatat bahwa pneumonia, bentuk ISPA berat yang menyerang paru-paru, masih menjadi penyebab 15% kematian balita di dunia.
Sebagian besar kasus terjadi di negara berkembang, di mana keluarga masih tinggal di rumah dengan ventilasi buruk dan memasak dengan bahan bakar padat seperti kayu.
Mengapa Anak Paling Rentan?
Anak-anak adalah kelompok paling rentan dalam masalah rumah tidak sehat. Paru-paru mereka masih berkembang, daya tahan tubuh belum kuat, dan kebutuhan oksigen lebih tinggi dibanding orang dewasa. Itulah sebabnya paparan asap kayu bakar dan rokok lebih cepat menimbulkan dampak buruk pada mereka.
Ketika seorang anak setiap hari menghirup udara penuh asap, tubuhnya tidak hanya sekadar batuk atau sesak. Dalam jangka panjang, paru-parunya bisa rusak dan daya tahan tubuhnya melemah. Akibatnya, anak menjadi lebih mudah sakit lagi. Lingkaran ini terus berulang, sampai akhirnya ada yang tidak kuat menahan penyakitnya.
Kisah anak di NTT yang awalnya sakit paru lalu berujung hydrosefalus adalah contoh tragis bagaimana satu masalah bisa memicu komplikasi berlapis.
Meski hydrosefalus dan paru bukan penyakit yang langsung berhubungan, kondisi infeksi kronis jelas memperburuk kesehatan anak.