Kisah Duka dari Kampung
Belum lama ini, kabar duka datang dari sebuah kampung di Nusa Tenggara Timur (NTT). Seorang anak kecil meninggal dunia setelah berbulan-bulan berjuang melawan sakitnya.
Awalnya ia hanya mengalami gangguan pernapasan, lalu divonis menderita penyakit paru. Kondisinya semakin memburuk hingga akhirnya mengalami hydrosefalus dan tak terselamatkan.
Rumah tempat anak itu tinggal sebenarnya terlihat sederhana dan hangat dari luar. Atapnya terbuat dari alang-alang, lantainya dari bale-bale kayu.
Di bawah rumah, babi dan ayam dipelihara. Semua aktivitas dilakukan di ruang yang sama, mulai dari memasak, tidur, hingga berkumpul keluarga.
Namun, minimnya ventilasi membuat asap kayu bakar menumpuk setiap hari di dalam rumah. Belum lagi sang ayah seorang perokok aktif. Asap rokok bercampur dengan asap dapur, memenuhi udara yang dihirup anak-anak.
Bayangkan, seorang balita tidur di ruang penuh asap, sementara di bawah lantai ada kotoran hewan yang jarang dibersihkan. Rumah yang seharusnya menjadi tempat aman justru menjadi sumber penyakit.
Kisah ini bukan hanya tragedi keluarga, melainkan potret nyata persoalan kesehatan lingkungan di banyak desa di NTT.
Rumah Beratap Alang dan Risiko Kesehatan
Rumah beratap alang adalah bagian dari identitas budaya masyarakat NTT. Di beberapa wilayah pedesaan, seperti di Sumba, Timor, maupun Flores, rumah jenis ini masih banyak dijumpai.
Namun, di balik nilai budayanya, desain rumah yang minim ventilasi sering kali membuat udara kotor terperangkap dan membahayakan kesehatan penghuninya.
Asap kayu bakar yang digunakan untuk memasak mengandung partikel halus yang bisa masuk ke paru-paru. Balita dan ibu rumah tangga adalah kelompok yang paling sering terpapar, sehingga lebih mudah terserang batuk, sesak napas, hingga pneumonia. Anak-anak di rumah seperti ini sering mengalami gangguan pernapasan berulang.
Keberadaan hewan di bawah rumah menambah persoalan lain. Kotoran babi atau ayam bisa menjadi sumber pencemaran udara dan penyakit. Lalat, bau, dan kelembapan bercampur dengan udara yang sudah dipenuhi asap kayu bakar.
Pola hidup seperti ini memperlihatkan betapa eratnya kaitan budaya, perilaku, dan kesehatan keluarga.
Apa Itu ISPA?
ISPA atau Infeksi Saluran Pernapasan Akut adalah penyakit yang menyerang organ pernapasan, mulai dari hidung, tenggorokan, sampai paru-paru. Gejalanya muncul cepat, mulai dari batuk, pilek, hingga sesak napas.
ISPA ringan sering dianggap remeh karena mirip flu biasa. Namun, pada kondisi lebih berat, ISPA bisa berkembang menjadi pneumonia, yaitu infeksi yang menyerang paru-paru dan bisa berakibat fatal, terutama bagi balita.
ISPA tidak hanya soal penyakit, tapi erat kaitannya dengan kondisi lingkungan rumah. Polusi udara dari dapur, asap rokok, hingga ventilasi yang buruk membuat risiko ISPA semakin tinggi.
Data ISPA di Indonesia dan NTT
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat prevalensi ISPA di Indonesia mencapai 9,3%, dengan angka tertinggi pada balita sebesar 11,2%.
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), prevalensi ISPA balita bahkan lebih tinggi, sekitar 13–14%, menempatkan provinsi ini sebagai salah satu yang paling terdampak di Indonesia pada saat itu.
Lima tahun kemudian, hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 justru menunjukkan kondisi yang masih mengkhawatirkan.
Prevalensi ISPA di NTT tercatat mencapai 36,3%, menempati urutan ketiga tertinggi setelah Papua Pegunungan (41,7%) dan Papua Tengah (39,4%) (Kementerian Kesehatan RI, 2023).
Angka ini memperlihatkan bahwa meskipun program kesehatan sudah berjalan, tantangan di lapangan masih besar, terutama terkait faktor lingkungan dan keterbatasan layanan kesehatan.
Penyebab tingginya angka ISPA di NTT antara lain penggunaan kayu bakar untuk memasak, ventilasi rumah yang minim, serta kondisi ekonomi keluarga yang membatasi pilihan mereka. Semua faktor ini membuat ISPA seolah menjadi “penyakit akrab” bagi anak-anak di NTT.
World Health Organization (WHO) mencatat bahwa pneumonia, bentuk ISPA berat yang menyerang paru-paru, masih menjadi penyebab 15% kematian balita di dunia.
Sebagian besar kasus terjadi di negara berkembang, di mana keluarga masih tinggal di rumah dengan ventilasi buruk dan memasak dengan bahan bakar padat seperti kayu.
Mengapa Anak Paling Rentan?
Anak-anak adalah kelompok paling rentan dalam masalah rumah tidak sehat. Paru-paru mereka masih berkembang, daya tahan tubuh belum kuat, dan kebutuhan oksigen lebih tinggi dibanding orang dewasa. Itulah sebabnya paparan asap kayu bakar dan rokok lebih cepat menimbulkan dampak buruk pada mereka.
Ketika seorang anak setiap hari menghirup udara penuh asap, tubuhnya tidak hanya sekadar batuk atau sesak. Dalam jangka panjang, paru-parunya bisa rusak dan daya tahan tubuhnya melemah. Akibatnya, anak menjadi lebih mudah sakit lagi. Lingkaran ini terus berulang, sampai akhirnya ada yang tidak kuat menahan penyakitnya.
Kisah anak di NTT yang awalnya sakit paru lalu berujung hydrosefalus adalah contoh tragis bagaimana satu masalah bisa memicu komplikasi berlapis.
Meski hydrosefalus dan paru bukan penyakit yang langsung berhubungan, kondisi infeksi kronis jelas memperburuk kesehatan anak.
Kisah ini seharusnya menjadi alarm bagi kita semua, bahwa rumah yang tidak sehat bisa merenggut masa depan generasi muda.
Solusi yang Bisa Dilakukan
Masalah ini memang tidak sederhana, tetapi ada langkah nyata yang bisa dilakukan. Ventilasi Masalah ISPA bisa dicegah dengan langkah sederhana.
Ventilasi rumah atau kos perlu ditambah, lewat jendela, lubang angin, atau celah kecil agar udara kotor keluar. Dapur sebaiknya dipisah dari ruang tidur, atau minimal diberi sekat, dan merokok di dalam rumah harus dihentikan.
Kebersihan juga penting dijaga. Kotoran hewan di desa maupun sampah di kos jangan dibiarkan menumpuk. Hal kecil seperti ini bisa mencegah penyakit.
Masyarakat perlu diedukasi untuk menjaga rumah tetap bersih, membuka jendela, mencuci tangan, dan memakai masker saat sakit. Pemilik kos juga bisa membuat aturan sederhana, misalnya melarang merokok di kamar.
Pemerintah bisa memperluas program rumah sehat, kompor ramah lingkungan, dan ventilasi sederhana. Tokoh adat, tokoh agama, hingga pengelola kos dapat ikut mendorong perubahan kebiasaan. Karena rumah sehat bukan hanya urusan kesehatan, tapi juga pembangunan dan pendidikan, maka solusinya harus dilakukan bersama-sama.
Penutup
Rumah beratap alang di kampung-kampung NTT adalah simbol kehidupan sederhana dan kebersahajaan. Namun, ketika asap dapur, asap rokok, dan kotoran hewan bercampur tanpa ventilasi, rumah bisa berubah menjadi ancaman.
Kisah seorang anak yang awalnya sakit paru lalu berujung hydrosefalus adalah peringatan keras: rumah bukan hanya tempat berteduh, tapi benteng pertama kesehatan keluarga. Jika lingkungan rumah tidak sehat, maka anak-anaklah yang pertama kali menjadi korban.
Pesan ini berlaku untuk semua orang. Entah tinggal di desa atau kota, rumah sederhana atau modern. Rumah sehat bukan soal besar atau kecil, bukan soal tradisional atau modern. Rumah sehat adalah rumah yang melindungi, bukan menyakiti.
Sudahkah rumah kita benar-benar membuat keluarga sehat?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI