Mohon tunggu...
Naila Amelia Afnitia
Naila Amelia Afnitia Mohon Tunggu... Mahasiswi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

membaca novel, menulis script, dan berimajinasi

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Keracunan MBG: Siapa yang bertanggung jawab?

6 Oktober 2025   09:00 Diperbarui: 6 Oktober 2025   09:13 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejatinya lahir dari niat baik pemerintah untuk mengatasi masalah gizi, terutama di kalangan pelajar dan masyarakat kurang mampu. Melalui program ini, ribuan anak diharapkan mendapatkan asupan bergizi setiap hari agar tumbuh sehat dan cerdas. Namun, belakangan ini, cita-cita mulia tersebut tercoreng oleh berbagai kasus keracunan massal yang terjadi di sejumlah daerah. Kasus ini tidak hanya menimbulkan korban, tetapi juga mengguncang kepercayaan publik terhadap pelaksanaan program MBG.

Kasus keracunan yang muncul di Jawa Barat, Sleman, Purworejo, dan beberapa wilayah lain menunjukkan adanya masalah serius dalam sistem pengawasan dan tata kelola makanan. Dari hasil pemeriksaan laboratorium di beberapa lokasi, ditemukan adanya bakteri berbahaya seperti E. coli dan Staphylococcus aureus yang menjadi penyebab utama keracunan. Hal ini menandakan bahwa proses pengolahan, penyimpanan, dan distribusi makanan belum memenuhi standar keamanan pangan.

Kita harus menyadari bahwa menyediakan ribuan porsi makanan setiap hari bukanlah hal mudah. Skala besar menuntut sistem yang disiplin dan profesional, bukan sekadar niat baik. Dalam dunia industri pangan, kesalahan kecil bisa berakibat fatal. Makanan yang terlambat dikirim, disimpan di suhu yang salah, atau diolah dengan alat yang kurang bersih dapat dengan cepat menjadi sumber penyakit. Sayangnya, fakta menunjukkan bahwa pengawasan di lapangan sering kali longgar, sementara pelaksana di tingkat daerah belum memiliki kemampuan dan sarana yang memadai.

Masalah lain yang patut disorot adalah minimnya akuntabilitas dan tanggung jawab kelembagaan. Program sebesar ini melibatkan banyak pihak, mulai dari penyedia bahan baku, juru masak, pengawas, hingga lembaga pemerintah pusat dan daerah. Namun ketika terjadi insiden, tanggung jawab sering kali saling dilempar. Padahal, dalam kebijakan publik, keselamatan masyarakat adalah prioritas utama yang tidak bisa ditawar. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap dapur penyedia makanan MBG diawasi secara ketat, mendapat sertifikasi laik higienis, serta menjalankan protokol keamanan pangan secara konsisten.

Beberapa kepala daerah telah memutuskan untuk menghentikan sementara program MBG sambil menunggu hasil evaluasi laboratorium dan audit kualitas. Langkah ini memang perlu, bukan sebagai bentuk penolakan terhadap program, melainkan sebagai upaya untuk mencegah jatuhnya korban berikutnya. Program bisa saja dilanjutkan, tetapi harus melalui proses perbaikan sistem menyeluruh. Setiap dapur MBG wajib memiliki alat pemantau suhu, jadwal distribusi yang tepat, serta sistem pengawasan silang antara daerah.

Di sisi lain, pemerintah pusat juga perlu membangun sistem audit independen. Audit ini penting untuk memeriksa kualitas makanan, kebersihan dapur, serta kompetensi tenaga pengolah. Semua hasil audit harus diumumkan secara terbuka agar masyarakat tahu bahwa uang negara benar-benar digunakan untuk kebaikan rakyat, bukan sekadar proyek seremonial.

Namun, di tengah kritik yang deras, kita juga perlu bersikap adil. Program MBG tetap memiliki nilai sosial yang sangat besar. Di banyak daerah, anak-anak dari keluarga miskin terbantu karena bisa makan bergizi tanpa harus mengeluarkan biaya tambahan. Jadi, menghentikan program sepenuhnya bukanlah solusi. Yang harus dihentikan adalah kelalaian, bukan kebijakannya.

Peran masyarakat juga tidak kalah penting. Orang tua, guru, dan lembaga sosial dapat menjadi pengawas tambahan. Jika ada makanan yang tampak basi atau tidak layak, laporan harus segera disampaikan agar tindakan cepat bisa diambil. Kesadaran kolektif ini menjadi bagian penting dari sistem keamanan pangan yang berkelanjutan.

Kasus keracunan MBG adalah peringatan keras bagi semua pihak bahwa niat baik tidak akan berarti tanpa pelaksanaan yang disiplin, transparan, dan bertanggung jawab. Pemerintah harus memperlakukan makanan bukan hanya sebagai bantuan sosial, tetapi juga sebagai hak kesehatan masyarakat. Karena itu, setiap unsur dalam rantai program, mulai dari dapur hingga mulut anak. Harus dijaga dengan standar yang ketat.

Jika kesalahan dibiarkan, korban akan terus berjatuhan, dan kepercayaan publik akan semakin pudar. Tetapi jika kasus ini dijadikan momentum untuk berbenah, maka MBG masih bisa menjadi program kebanggaan bangsa. Program yang tidak hanya memberi makan, tapi juga memberi harapan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun