Mohon tunggu...
Nirwana Hidayati
Nirwana Hidayati Mohon Tunggu... Freelancer - nulis salah satu katarsis

Social Walker at Swara Nusa Institute

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Audit Social Pasca-Pandemi Covid-19 dalam Skema Penerimaan Bantuan

12 Mei 2020   22:47 Diperbarui: 12 Mei 2020   22:54 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bantuan sosial yang diturunkan oleh pemerintah dengan 9 jaringan pengaman sosial (JPS)  diharapkan segera dicairkan dan tepat sasaran, itu harapan pemerintah pusat. Karena 9 JPS yang disiapkan dirasa mampu menutupi bantuan kepada setiap penerima manfaat dengan masing-masing klasifikasinya. Jutaan penerima manfaat pun dikeluarkan oleh Kemensos melalui data kemiskinan dan data tersebut sudah ada di masing-masing daerah di Indonesia. Dan masing-masing daerah menentukan calon penerima bantuan (sebelum verifikasi) dan menetapkan penerima bantuan dalam SK BNBA(by name by addres dalam validasi).

Bansos ini tak seindah yang diharapkan pemerintah pusat yaitu tersalurkan tepat waktu dan tepat sasaran. Temuan dilapangan banyak sekali kekisruan yang terjadi yang dikarenakan keberadaan data base yang sudah tidak relevan, karena data kemiskinan diambil pada 5 s/d 7 tahun yang lalu. Betapa usangnya data tersebut kan yaa. Dengan kurun waktu 5 s/d 7 tahun lalu perkembangan manusia secara ekonomi pasti ada peningkatan, karena dukungan program-program pemerintah pusat. Contoh; pada tahun 2014 Undang-undang Desa dilahirkan dengan UU desa No. 6 Th 2014 yang diringi dengan adanya dukungan anggara yang cukup besar melalui Dana Desa. Tentu program ini tidak sia-sia dan dijalankan oleh setiap pemerintah desa sesuai dengan potensi desa masing-masing, dan dimulai dengan pembangunan infrastruktrur sebagai penunjang berjalannya perekonomian desa. Semua desa melakukan pembangunan mulai dari pembangunan makadam-makadam sebagai akses menuju area persawahan, jalan-jalan di permukiman mulai bagus sebagai sarana infrasrtuktur penduduk desa dalam pembangunan ekonomi desa.

Setelah dukungan pembangunan infrastruktur maka pembangunan SDM untuk mendukung perekonomian desa pun digagas dan dilakukan oleh pemdes melalui pembentukan BUMDesa. Di desa berduyun-duyun membangun desa wisata dengan konsep terintegrasi dengan ekonomi desa, mulai dari gali aset bedah potensi dilakukan oleh pemdes untuk mencari fokus industri pariwisata dan pengembangan ekonomi lokal. Setelah terbangun maka pemdes membentuk badan usaha yang disebut dengan BUMDesa. Dengan BUMDesa diharapkan kesejahteraan masyarakat bisa terangkat, para pemuda desa tidak lagi menjadi masyarakat urban melainkan bekerja didesanya sendiri artinya roda perputaran ekonomi berjalan. Dan program ini didukung oleh program kemensos yang bernama PKH dengan berbagai programnya yang kelompok sasarannya adalah keluarga miskin. Contoh para perempuan kepala keluarga diberi pelatihan dan diberikan intensif permodalan untuk berjualan, maka warga sekitar akan membeli produknya. Artinya rantai kemiskinan terputus didesa. Sektor industri sudah merambah ke daerah dengan banyak berdirinya pabrik-pabrik artinya masyarakat bisa bekerja didaerah tanpa harus menjadi masyarakat urban. Ini contoh keberhasilan program dan saya yakin banyak keberhasilannya.

Kembali ke Bansos Covid-19 yang banyak terjadi kekisruan ditingkat bawah dan pemerintah selalu jadi sasaran empuk untuk dituding sebagai penyebab kekisruahan, mulai dari pendistribusian yang dinilai masyarakat tidak adil karena fakta dilapangan banyak penerima bantuan adalah yang sudah cukup sejahtera. Ini menjadi masalah yang harus dievaluasi oleh pemerintah pusat. Masalah ini muncul karena data yang usang dan sisitem aplikasi yang diberikan hingga tingkat desa yang bernama SIKS-NG itu berisi data kemiskinan yang tidak pernah berkurang dan tentu dengan adanya pandemi ini bisa jadi bertambah. Karena pemdes hanya disodorkan untuk eksekusi calon penerima bantuan dengan waktu yang singkat. Tidak semua Pemdes bisa kerja cepat, masih banyak Pemdes yang masih pake cara lama untuk mempercepat validasi data misal; ya sudah paka nama yang disodorkan oleh data tanpa diverifikasi, atau input baru karena si A adalah saudara saya, karena si B adalah teman saya, karena si C adalah timses pak lurah dst. Namun banyak juga Pemdes yang melakukan verifikasi bersama Satgas Covid-19 yang dibentuknya di datengi person-person CPB yang ada dalam data sesuai kriterian sebagai penerima bantuan yang sudah ditentukan kemudian mengisi format yang diberikan sebelum ditetapkan SK Peneri bantuan By Name By Addres.

Saya kira cukup jelas klasifikasi penerima bantuan, namun data tidak relevan itu selalu dipake tanpa verifikasi. Jika Kemensos dan Dinsos jelas memberikan Tupoksi pada Pemdes dengan petugas yang jelas tidak hanya instrukti saya kira tidak sekisruh ini. Orang jawa bilang "ngaruhke itu penting" sebelum instruksi. Pemdes hari ini tidak seperti Pemdes jaman dulu banyak nganggurnya tapi mereka bekerja luar biasa kok masih ditambah dengan pekerjaan lain. Jika dinsos kasi petugas khusus untuk verifikasi mungkin tidak begini ceritanya. Harus diakui ada kekeliruan pemilihan penerima bantuan, dan banyak juga warga yang ingin mendapatkan bantuan walaupun dirinya masih mampu untuk bertahan hidup selama pandemi ini. Ada juga yang mampu tervalidasi sebagai penerima bantuan dan tidak mau mengundurkan diri padahal dia kategori kelompok sejahtera. Ada juga yang benar-benar tidak mampu karena PHK dan dia kepala keluarga tidak dapat bantuan sama sekali. Alhasil tak sedikit Pemdes yang digerudug warga tanpa menilai kinerja Pemdes, jika kinerja benar harusnya tidak perlu digerudug tapi banyak warga mampu yang mendadak ingin dimiskinkan, jika kinerja tidak benar it's oke lah Pemdes di minta klarifikasi.  Ini fenomena yang terjadi di tingkat desa.

Dan itu menjadi latar belakang untuk melakukan audit sosial, karen tidak hanyak keuangan yang harus diaudit kalau keungan sudah jelas transfer langsung ke rekening PB sesuai BNBA, kecuali ada kebocoran dengan PB fiktif ini diluar prediksi. Yang dilakukan dalam audit sosial tentu diawali dari data base yang ada di SIKS-NG atau PBDT (data kemiskinan). kemudian sebagai responden yang harus diaudit adalah 1). Penerima Bantuan sesuai BNBA 2). Pemdes sebagai Verifikator 3). BPD sebagai penyalur aspirasi warga 4). NGO sebagai kelompok oposisi. Dengan instrumen audit yang mungkin bisa digodog oleh para ahlinya tentu bisa dimulai dari verivikasi data kemiskinan yang usang, kedua penerima bantuan apakah PB benar-benar miskin, apakah PB benar-benar korban PHK yang tidak punya cadangan hidup dll, ketiga Pemdes kenapa tidak lakukan verifikasi bersama satgas Covid-19, kenapa PB sesuai BNBA yang muncul adalah keluarga yang sejahtera atau korban PHK yang punya cadangan hidup. Keempat BPD apa peran aktif BPD dalam kegiatan Covid-19 dan apakah sudah menyalurkan aspirasi warga terdampak atau tidak. Kelima NGO apa peran NGO sebagai kelompok oposisi menangkap kekisruan Bansos yang terjadi di masyarakat dan dimana peran NGO dalam Covod-19 ini?

Diatas saya kira kenapa harus dilakukan audit sosial. SDM unggul Indonesia Maju. Indonesia tidak Negeri Penjual Kemiskinan.

In solidarity

Audit Social Pasca pandemi Covid-19 dalam Skema Penerimaa Bantuan Sosial (JPS)

Oleh: Nirwana Hidayati

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun