Alkisah, di sebuah kerajaan besar, diadakan sayembara untuk memilih Juru Adat Spiritual. Pangkatnya 2 tingkat di bawah sang Raja. Tugasnya bisa lebih ekstra dari Sang Raja, setidaknya dari sisi waktu.
Sayembara dilakukan karena Sang Juru Adat Spiritual yang ada sudah akan memasuki masa purna tugas di usianya yang sudah masuk kategori kasepuhan kerajaan.
Juru Adat Spiritual, selain memangku tugas mengurusi administrasi pemanfaatan dana kerajaan untuk aktivitas sosial, kebudayaan, pemberdayaan, dan hal-hal yang bersifat umum, seperti penyediaan sarana dan pra sarana, juga memiliki tugas utama menjadi yang terdepan ketika ada berita duka dalam kerajaan seperti kematian, bencana alam, dan musibah-musibah yang terjadi.Â
Juru Adat Spiritual juga adalah jabatan untuk pimpinan spiritual dalam pesta dan kegiatan perayaan lainnya di sekitar kerajaan. Kelahiran, Pernikahan, dan lainnya wajib melibatkan atau wajib atas sepengetahuan Sang Juru Adat Spiritual.
Periode sayembara berlangsung selama 12 kali purnama. Pada purnama ke 3, setelah sayembara diumumkan, tidak ada satupun rakyat yang mendaftar. Sampai kemudian Sang Raja langsung berinisiatif berkeliling negerinya untuk mencari calon terbaik.
Tindak tanduk Sang Raja mendorong petinggi lainnya melakukan hal yang sama. Dan pada sekitar purnama ke 5, terjadi kesepakatan antara Sang Raja dengan Para Petinggi yang memiliki pengaruh kuat di kerajaan, untuk menelurkan satu nama saja sebagai pemangku jabatan yang kosong, yaitu jabatan Juru Adat Spiritual.
Secara ekonomi, termasuk kategori biasa, belum termasuk kategori Saudagar. Secara keilmuan, juga termasuk biasa, walau sudah mendapat sebutan tuan Guru, satu nama tersebut belum termasuk kategori Penasehat Kerajaan.Â
Usianyapun masih relatif muda, jika nanti jadi dilantik, maka dalam jajaran punggawa kerajaan merupakan petinggi dengan usia paling muda.
Hanya saja, kecondongan pilihan pada Satu Nama ini adalah karena ia adalah sosok yang selama ini menanam kebaikan, menebar kesantunan, menjadi penyubur bagi aneka kegiatan positif di kerajaan, serta menjadi penjaga kerajaan dalam nilai-nilai yang disukai Sang Pencipta (Allah Subhanahu wata'ala)
Dimulailah "kampanye" calon satu nama yang diunggulkan Sang Raja dan banyak petinggi kerajaan oleh kalangan Petinggi Kerajaan kepada rakyat. Rakyat di banyak titik di sekitar kerajaan menyambut positif dengan satu nama yang digembar-gemborkan akan menjadi Juru Adat Spiritual yang baru.
Obrolan pedagang dan pekerja kasar di warung kopi, sampai obrolan para Saudagar dan para Penasehat Kerajaan di pos-pos pantau kerajaan mengerucut kepada kalimat positif mendukung satu nama yang dicalonkan, yaitu mendoakan Sang Calon Juru Adat Spiritual yang baru diberikan kesehatan dan kekuatan untuk mau mengemban amanah yang dipercayakan ini.
Sampai pada masa akhir jelang waktu sayembara ditutup, Juru Adat Spiritual yang lama memasuki masa akhir jabatannya. Artinya, Sang Calon Juru Adat Spiritual semakin dirasa dibutuhkan untuk segera dilantik.
Purnama terus berganti, sampai memasuki purnama ke 12. Sang Raja pergi menghadap Sang Penghulu Solih, sebuah sebutan untuk Ketua perkumpulan kerajaan-kerajaan di salah satu tempat bernama Kawetjibo (Kawedanan Tjiledu Tjirebo).Â
Sang Penghulu Solih menyambut baik usulan dari Sang Raja tentang Satu Nama yang digadang untuk Juru Adat Spiritual yang baru. Dan meminta segera dilantik, tanpa menunda lama, demi kepentingan berjalannya roda nilai-nilai kerajaan yang harus dijaga agar tradisi yang ada tetap lekat dengan Sang Pencipta serta agar keharmonisan sesama rakyat, bahkan dengan alam di sekitarnya juga tidak terganggu.
Nahas, nasib Sang Calon Juru Adat Spiritual. Di detik-detik akhir pelantikan, dimana restu bukan hanya dari kalangan petinggi kerajaan dan sebagian besar masyarakat, bahkan konon datang juga dari Sang Penghulu Solih, tetiba datang Satu Nama baru yang kurang populer di kerajaan,digadang-gadang tetiba untuk menjadi alternatif kedua Calon Juru Adat Spiritual.Â
Yah, ini dirasa aneh oleh banyak pihak, jelang dilantik tetiba ada nama baru, nama yang selama ini tidak terdengar di barisan para ksatria pemberi sumbangsih pada kerajaan, ketika kerajaan pernah terkena bencana air bah dan sebagainya, nama baru ini entah di barisan mana beradanya.
Manuver demi manuver terjadi mendadak begitu banyak. Kasak-kusuk terjadi di sana-sini. Sebagian warga menaruh curiga, bahwa dari hulu ke hilir, dari Sang Penghulu Solih, Sang Raja, sampai banyak petinggi kerajaan tidaklah tulus sepenuh hati menggadang-gadang satu nama dulu kala sejak Purnama ke 5.Â
Sebagian lagi, mengira satu nama pesaing yang baru yang diunggulkan diyakini memiliki kesaktian luar biasa, sehingga begitu berani melawan ketegasan kompetensi.
Dan hebatnya, Sang Penghulu Solih dan Sang Raja beserta para petinggi kerajaan, memutuskan dari hanya 1 (satu) nama untuk posisi Calon Juru Adat Spiritual yang baru, menjadi ada 2 (dua) Â nama. Keputusan yang dirasa aneh dan bercitarasa mendadak ini diambilnya dengan dalih ini suatu keharusan dan kewajaran.Â
Lalu dibentuklah, Majlis Pemilihan Juru Adat Spiritual di Purnama ke 13 atau di luar batas sayembara sebenarnya untuk menimbang kompetensi keduanya. Kata kunci seperti kompetensi adalah yang digembar-gemborkan ke segenap titik di kerajaan.
Seolah para pengambil kebijakan ingin dilihat bakti karyanya kepada kerajaan, karena yang akan diputuskan apapun oleh Majlis Permilihan nanti adalah berdasarkan kompetensi.
Sebut saja nama pertama yang diunggulkan dari masa awal sayembara sampai jelang penutupan sayembara adalah Raden Elang Sakti, sedangkan nama yang baru muncul di akhir penutupan sayembara adalah Raden Sakti Mandraguna, secara kompetensi dari sudut pandang manapun, maka dapat dipastikan Raden Elang Sakti jauh lebih unggul dari Raden Sakti Mandraguna.
Sekilas profil Sang Raden Sakti Mandraguna tidaklah ada cacatnya. Ia juga memiliki keunggulan, sama-sama masih berusia muda dan penuh potensi. Hanya saja jika pengukurnya adalah kompetensi, maka pada segala bentuk karya bakti pada posisi Juru Adat Spiritual, Raden Elang Saktilah yang lebih pantas lebih tepat.
Sebagian besar dukungan yang ada untuk Sang Raden Elang Sakti dianggapnya dukungan semu. Orang-orang berpengaruh di luar kekuasaan yang ada seolah dianggap tidak berilmu, gampang dibodohi, dan tidak perlu dilibatkan dalam kebijakan strategis di kerajaan.
Lebih tinggi dari itu, mereka tutup mata pada segala apa yang dilakukan adalah berujung pada turun atau tidaknya limpahan keberkahan dari Sang Pencipta.
Bagaimana mungkin seseorang yang sudah sedari awal digadang-gadang disebut secara terang-terangan akan dilantik sebagai Juru Adat Spiritual yang baru, tetiba dengan mudah dibenamkan oleh sosok baru yang secara kompetensi dapat dikatakan jauh panggang dari api.
Yang kedua kemampuan rasional. Ada kalanya di atas kertas bagus, tapi realitanya tidak. Seorang yang pernah menjuarai lomba panahan, jika diuji kembali cara dia memanah ada hasilnya, maka dapat dikatakan ia memenuhi syarat kemampuan logika dan syarat kemampuan rasional.
Yang ketiga kemampuan emosional. Ketika dinyatakan nama Raden Elang Sakti kalah oleh pesaingnya Raden Sakti Mandraguna, respon hebat dari Sang Raden Elang Sakti menunjukan ia telah melampaui syarat kompetensi dalam hal kemampuan emosional.
Begini yang ia tulis dalam sabak halus yang terpajang indah di salah satu pojok kerajaan :
BISMILLAH...
1. TAKDIR SANG PENCIPTA (ALLAH) YANG TERBAIK.
2. Yang Terpilih sebagai Juru Adat Spiritual baru di Kerajaan adalah Raden Sakti Mandraguna.
3. Alhmdulillah akhirnya keputusan sudah final.
4. Saya ucapkan selamat kpd Raden Sakti Mandraguna. Mari kita doakan dan dukung beliau semga amanah dan bekerja dengan baik dan berkah untuk semua.
5. Saya minta maaf kepada seluruh yang telah mendukung saya. Saya sudah berikhtiar dan inilah hasil yang TERBAIK dari Allah (Sang Pencipta) .
6. Terimakasih banyak kepada siapapun yang telah mendoakan saya. Saya yakin inilah hasil DOA yang terbaik buat saya dan semua.
Jazakumullah khairan....
7. Sekali lagi Mari kita TETAP BERSATU berjuang bersama untuk KERAJAAN YANG BERKAH.
Perbaiki diri lakukan yang terbaik
# Semga Allah memberkahi kita semua. Aamiin.
# Maaf yang banyak dan mohon doa slalu....
Kompetensi dari kitab manapun mutlak tidak bisa ditawar ketegasannya, dalam artian lebih sederhana, jika kompetensi hanyalah dilihat dari pengetahuannya, keterampilannya, dan sikapnya, tetap untuk posisi yang digadang-gadang dicari sosok yang tepat kompetensi Sang Raden Elang Sakti (mohon maaf) masih di atas Raden Sakti Mandraguna.
Mengapa berani menggunakan kata kompetensi? Engkau bukan saja telah menyoyak batin kami yang merindukan apa yang kau kampanyekan tentang Raden Elang Sakti di sepanjang periode Sayembara, namun engkau juga telah mengacak-acak tatanan budaya kerajaan dengan memburamkan arti dari kompetensi.Â
Kami tidak ingin menduga-duga ada kongkalingkong apa dibalik penunjukan Juru Adat Spiritual  Baru yang justru bukan sosok yang digadang-gadang di awal sayembara oleh engkau para petinggi.
Kami sedang rindu berdoa, berdoa, dan berdoa agar Allah menurunkan keberkahan lebih besar lagi untuk kerajaan kami, Â berdoa Agar Allah mengganti akhlak para petinggi yang khianat, yang masih doyan melakukan perjudian, bahkan itu dilakukan dalam istana kerajaan atau bentuk-bentuk tidak elok lainnya.
Bentuk tidak elok adalah bentuk dimana anak-anak kandungnya sendiri, ia doakan untuk tidak melakukan yang ia lakukan.