Mohon tunggu...
nanang maulana
nanang maulana Mohon Tunggu... -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Kepada Ibu Imitasi

22 Desember 2013   21:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:36 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


NOMER PESERTA: 506

Oleh: Sinwu

Ibu... kini aku tahu arti kehadiranmu. Momen ketika jemariku untuk pertama kali digenggam oleh tangan-tangan mungil, malaikatku. Cucu pertamamu.

Tangan mungilnya menggenggam jariku begitu erat, Bu. Seolah-olah mengisyaratkan agar aku tidak meninggalkannya sendiri. Farhan, cucumu yang baru berumur 6 bulan itu. Tadi sore aku membawanya ke dokter spesialis anak, karena demamnya tidak kunjung reda. Perubahan cuaca membuat Farhan terkena flu.

Ibu, baru saja aku memberinya ASI dan makan bubur ayam, setelah itu dia minum obat sesuai dengan resep yang diberikan oleh dokter. Genggaman tangannya perlahan melemah, dan akhirnya aku bisa menarik jariku. Mengantuk! Itu sebenarnya yang kurasa. Ingin sekali aku membangunkan suamiku untuk bergantian menjaga Farhan, tetapi tidak tega, karena besok dia harus bekerja. Untung saja besok sekolah libur, jadi aku bisa menemani Farhan malam ini. Seperti yang kau tahu, Bu, aku bekerja sebagai seorang guru SMA.

Ibu, memiliki Farhan sungguh mengubah seluruh kehidupanku. Benar adanya, anak adalah buah hati. Ketika dia sakit, aku ingin sekali menukar rasa sakitnya ke tubuhku. Lebih baik aku yang merasakan demam itu, daripada Farhan. Pasti seperti itulah yang kau rasakan sewaktu kau merawat Riska kecil dulu, kan, Bu?

Ibu, masih teringat juga saat aku melahirkan Farhan. Berapa banyak udara yang harus aku hirup, saat proses melahirkan Farhan supaya aku bertahan hidup. Karena nyawaku terasa seperti akan terlepas dari ragaku. Rasa sakit yang teramat sakit. Suamiku tidak tega melihatku, tetapi dia selalu berada di sampingku, selama proses persalinan. Dia memberi dukungan, kadang dia mengikuti apa yang dikatakan oleh bidan, “tarik nafas, dorong. Tarik nafas, dorong.”

Namun, semua itu menjadi bahagia di atas bahagia, ketika aku mendengar suara tangisan bayi. Aku menghela nafas panjang dan lega. Sepintas aku melihat kepala anakku yang masih berlumuran air ketuban. Bidan membawanya untuk dibersihkan. Aku merebahkan diri untuk melepaskan lelah. Tenagaku hampir berada di titik nol.

Setelah aku terbangun dari tidurku, aku melihat bayi mungil itu. Bidan menaruhnya di dalam dekapanku, dan memintaku untuk memberikan dia ASI. Ternyata bayi laki-laki yang tampan. Setampan suamiku. Suamiku mengecup keningku, dia duduk di sampingku. Sekarang aku telah menjadi wanita seutuhnya, sejak kehadiran Farhan. Farhan yang berarti kabar bahagia.

Aku ingin Farhan tumbuh dalam keluarga yang harmonis dan utuh, Bu. Karena keberadaannya memang diharapkan di dunia ini. Tidak seperti aku. Jika harus mengambil kutipan yang sarkasme, maka aku ini adalah anak haram. Anak yang tidak pernah diinginkan. Ya, Bu itulah persaanku… kau pasti tahu bukan dirimu yang kumaksudkan.

Pernikahan karena cinta yang seharusnya membawa seorang bayi sebagai buah hati ke dunia ini, tetapi bukanlah itu yang membuatku berada di dalam kandungan wanita yang telah melahirkanku. Pergaulan dan berpacaran yang mengikuti perkembangan jaman yang amoral, yang disalahkan atas keberadaanku. Pernikahan bukan lagi media suci untuk mendapatkan buah hati yang suci. Semua diplesetkan dengan kata perkawinan.

Ibu, seperti yang pernah kau kisahkan kepadaku, wanita yang telah melahirkanku memang sangat tidak bisa dikendalikan secara pergaulan, dia menjadi sebebas-bebasnya semenjak ayahnya meninggal. Dia berkenalan dengan seorang laki-laki, teman SMAnya yang secara biologis adalah Ayahku. Kecelakaan pun terjadi, hingga akhirnya harus terjadi pernikahan. Bukan karena keinginan dan cinta, tetapi untuk menutup aib.

Setelah aku lahir, beberapa bulan kemudian terjadi perceraian, dan beberapa bulan kemudian, wanita yang telah melahirkanku, meninggalkanku bersama nenek dan kau, saudaranya. Laki-laki yang secara biologis adalah Ayahku, juga pergi entah ke mana. Wanita itu pergi ke Malang, dan dia menikah lagi, bahagia bersama keluarga barunya. Sampai sekarang aku memanggil tante kepada wanita yang telah melahirkanku.

Masih lekat dalam ingatanku, ketika aku berumur satu tahun, nenek meninggal. Tinggallah aku berdua bersamamu, Bu. Kaulah yang memberikan apa yang tidak pernah aku dapatkan dari wanita yang telah melahirkanku: sebuah cinta, ketulusan, pengorbanan dan sentuhan tangan yang hangat di saat aku sakit. Aku pun memanggilmu dengan sebutan Ibu. Kau mengajarkanku banyak hal, dari aku yang tidak tahu berjalan, sampai bisa berlari. Dari aku yang tidak bisa berbicara, sampai aku bisa bernyanyi.

Ibu, kau memiliki sebuah salon kecantikan. Tetapi, kau berpenampilan yang menutup auratmu dan mengenakan jilbab. Salon kecantikan yang kau kelolah hanya menerima pelanggan perempuan. Oleh karena itu, salonmu ramai oleh pengunjung, karena tidak ada isu tentang salon kecantikan plus plus.

Ketika aku menginjak sekolah dasar, kau selalu menyediakan sarapan dan bekal untuk di sekolah nanti. Aku, kau biasakan untuk tidak jajan makanan di luaran. Ingatkah kau, Bu? Dulu aku meminta uang kepadamu untuk membeli es lilin di kantin. Sepulang dari sekolah, perutku pun terasa mulas dan badanku demam. Akhirnya kau bawa aku ke puskesmas karena tiga hari demamku tidak turun-turun. Dokter puskesmas menyuruhku untuk opname di rumah sakit, ternyata aku sakit tipus.

Ibu, kau pun pandai sekali bernyanyi. Sejak kecil aku sering melihatmu bernyanyi di acara pernikahan tetangga. Akhirnya aku juga mulai senang dengan musik, dan waktu SD aku sering bernyanyi sambil menari di depan televisi. Kau melihat aku memiliki bakat di tarik suara dan seni tari. Kau pun membelikan vcd player, biar aku bisa mengasah bakatku.

Saat aku menginjak SMP, aku pun mulai kau beritahu tentang siapa aku yang sebenarnya. Orang yang aku panggil Tante, dia adalah Ibu kandungku. Tentu saja aku merasa kaget dengan semua ini. Aku pun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya langsung kepada Tanteku. Malam itu, aku meminjam HPmu, aku ingin mendengar langsung dari Tanteku. Ya, ternyata apa yang diceritakan olehmu sama persis dengan apa yang aku dengar langsung dari Tanteku.

Tidak berhenti di situ, aku pun mulai bertanya tentang hal yang sering menjadi bahan olok-olokan oleh teman-temanku waktu SD sampai aku SMP sekarang. Apakah benar, kau adalah seorang laki-laki yang berpenampilan wanita, atau kata lainnya adalah waria?

Kuingat ketika itu, kau pun menundukkan kepala dan menangis.

Ibu, aku telah menggoreskan luka di relung hatimu …

Sejak itu aku pun membencimu, Bu. Dan seketika itu juga, aku merasa jijik kepadamu. Kau mengakui bahwa dirimu adalah seorang wanita tanpa rahim. Kau tidak menyebutkan dirimu waria, karena kau merasa bahwa dirimu adalah wanita yang terjebak pada fisik pria.

Apapun alasanmu, aku merasa muak dan malu. Sudah cukup aku di-bully selama ini. Aku pun memilih untuk pergi meninggalkanmu dan memilih tinggal bersama Tanteku.

Aku mengemasi semua baju-bajuku. Aku memecahkan celenganku, uang yang terkumpul sekitar 150 ribu. Cukup untuk ongkosku ke Malang. Sebelumnya aku sudah menelepon Tanteku, dan dia bersedia untuk membesarkanku. Ternyata keluarganya yang di Malang sudah tahu, bahwa aku adalah anak kandungnya.

Ibu, maafkan diriku yang membuatmu menangis ketika itu. Bahkan kau tak kuasa melarangku untuk pergi karena teriakan dan cacian kasarku. Sedang kau dengan ketulusan masih bisa berpesan, agar aku jangan melalaikan sholat lima waktu, dan belajar yang rajin. Setelah semua yang kubutuhkan ada di dalam tas, aku pun pergi meninggalkan rumah. Tanpa berpamitan, apalagi bersalaman kepadamu.

Semua urusan kepindahan sekolahku sudah diurus oleh Tanteku. Akhirnya aku sekolah di Malang. Di sini aku merasa nyaman, tidak ada lagi yang akan mengejekku. Dan di rumah Tanteku ini, sungguh aku dibebaskan. Uang sakuku lumayan, dan aku tidak begitu dipantau secara pendidikan. Meskipun aku sudah tahu kalau Tante adalah Ibu kandungku, aku tetap saja memanggilnya Tante. Di sana aku memiliki dua adik tari dan kami sedikit tidak akur.

Awalnya aku merasa nyaman tinggal di rumah itu, aku style cuek saja kepada kedua adik tiriku. Aku melupakan pesan darimu tentang sholat lima waktu dan belajar. Aku lebih memilih untuk sering kumpul bersama teman-teman baruku daripada menghabiskan waktu di rumah Tante. Sampai pada akhirnya aku mengalami kecelakaan karena ugal-ugalan di jalan raya.

Untung saja tidak ada yang meninggal dalam kecelakaan tersebut. Tanteku mengurus semua biaya dan urusan polisi. Aku tidak masuk sekolah selama satu minggu lebih. Berdiam sendiri di rumah dan hanya ditemani oleh pembantu. Di dalam rumah ini, aku hanya dipenuhi oleh kebutuhan materi saja, tidak ada kasih sayang.

Ibu, di saat itulah aku merindukanmu. Seandainya kau ada di sisiku, aku tak akan mungkin dirawat oleh pembantu. Aku menangis, dan aku memberanikan diri untuk memberi kabar itu kepadamu, Bu.

Aku telah jauh dari kehidupan yang sederhana, jauh dari kasih sayangmu, dan jauh dari Allah. Meski kau bukanlah ibu kandungku dan bukan wanita secara harfiah, tetapi kaulah yang merawatku sejak kecil. Yang membersihkan kotoranku, dan menerimaku ketika ibu kandungku sendiri telah mengabaikanku. Akhirnya aku pun memilih kembali untuk tinggal bersamamu.

Sejak saat itu aku tidak peduli dengan kata orang lain tentangmu. Bagiku kaulah sosok Ibu, Ibu yang tidak pernah memiliki rahim, tetapi memiliki cinta seperti seorang Ibu asli (aku sulit memilih kata untuk menggambarkan Ibuku yang bukan wanita asli).

Aku pun mulai mengasah kembali kemampuanku di bidang seni suara dan seni tari. Aku ikut kegiatan ekstrakurikuler untuk kesenian. Akhirnya aku sering terpilih untuk mewakili sekolah dalam lomba-lomba menyanyi dan menari. Ibu, kaulah yang menyiapkan semua kostum dan kau selalu ikut saat aku tampil, karena kau juga yang mendadaniku.

Setelah aku kelas 3 SMA, kau memberikanku kebebasan untuk melanjutkan kuliah atau bekerja. Aku pun ingin melanjutkan kuliah dan ingin menjadi wanita karir. Meski awalnya aku ingin sekali membantu keuanganmu, karena aku tahu kalau belakangan ini salon kecantikanmu mulai sepi. Tetapi kau tidak membatasiku, bahkan kau ingin melihatku diwisuda menjadi seorang sarjana.

Akhirnya aku pun ikut tes untuk masuk ke universitas. Alhamdulillah, aku diterima di Universitas Negeri Malang Jurusan Pendidikan Seni. Selama aku di Malang, aku tinggal bersama Tanteku. Aku tidak ingin membebanimu. Tetapi suasana di rumah itu, tidak membuatku betah. Akhirnya di semester tiga aku pun memilih untuk kos.

Saat itu, aku masuk ke sebuah sanggar. Di sana aku mulai mengajari anak-anak yang memiliki bakat di dunia seni suara dan tari. Lumayan gaji yang kudapat tiap bulannya untuk biaya makan dan kos. Sementara untuk biaya semester, aku sering mendapatkan beasiswa. Jadi kau tidak perlu mengirimi aku uang.

Sampai di hari wisuda, aku memintamu untuk hadir dan duduk di kursi barisan depan, karena aku lulus dengan IPK Cumlaude. Ibu, linangan air mata kebahagiaanmu tidak terbendung lagi, demikian aku. Aku memelukmu, dan aku berterimakasih karena telah dibesarkan dan dididik olehmu, Bu.

Ibu, berkat kaulah sekarang aku berhasil menjadi seorang guru di SMA Surabaya. Guru seni yang menjadi cita-citaku. Ibu, sekarang ingin sekali aku mengajakmu untuk tinggal bersamaku. Kulitmu yang mengeriput, menandakan kau telah banyak memakan garam kehidupan. Aku ingin membahagiakanmu, Bu.

Ibu, ingin aku mengambil tanganmu, dan menciummu. Seperti yang kurasakan saat tangan-tangan mungil Farhan meraih tanganku. Karena tanganmu lah yang telah menjadikanku wanita sekaligus Ibu yang tegar dan tidak cengeng oleh kehidupan.

Dari Riska, putri yang selalu mencintaimu.

***

NB: Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Hasil Karya Peserta Event Hari Ibu. Ini link-nya: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/12/22/untukmu-ibu-inilah-karya-peserta-fiksi-hari-ibu-bersama-studio-kata-618551.html

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community di http://www.facebook.com/groups/175201439229892/!


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun